PELUKIS ABAS ALIBASYAH WAFAT RABU, 11 MAY 2016 JAM 17.20 WIB. DUNIA SENI RUPA INDONESIA BERKABUNG.
Profil Seniman Abas Alibasyah
Alibasyah Natapriyatna
Lahir :Purwakarta Jawa Barat,11 Maret 1928
Pendidikan :HIS,Sihan Gakko,SMA BOPKRI,ASRI
Karier :
Pamong Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta,
Guru SMA Stella Deuce dan SMA Negeri III B (Padmanaba) Yogyakarta,
Dosen IKIP (Yogyakarta) dan dosen UGM,
Direktur ASRI (Yogyakarta) dan ASKI (Surakarta),
Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (Yogyakarta),
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kepala Lembaga Musikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Inspektur Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Anggota Konsorsium Seni Ditjen Dikti,
Anggota Badan Sensor Film, Anggota Dewan Film,
Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta.
Lahir :Purwakarta Jawa Barat,11 Maret 1928
Pendidikan :HIS,Sihan Gakko,SMA BOPKRI,ASRI
Karier :
Pamong Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta,
Guru SMA Stella Deuce dan SMA Negeri III B (Padmanaba) Yogyakarta,
Dosen IKIP (Yogyakarta) dan dosen UGM,
Direktur ASRI (Yogyakarta) dan ASKI (Surakarta),
Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (Yogyakarta),
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kepala Lembaga Musikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Inspektur Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Anggota Konsorsium Seni Ditjen Dikti,
Anggota Badan Sensor Film, Anggota Dewan Film,
Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta.
Penghargaan :
Anugerah Seni tahun 80-an dari pemerintah,
Penghargaan dari DKJ untuk lukisan terbaik pada Biennale I,
Lempad Prize dari Yayasan Lempad Bali,
Penghargaan dari ISI Yogyakarta untuk pengabdian dalam dalam pendidikan seni,
Penghargaan Empu Ageng dari ISI Yogyakarta 2014.
Cultural Award Scheme dari pemerintah Australia,
Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI.
Lempad Prize dari Yayasan Lempad Bali,
Penghargaan dari ISI Yogyakarta untuk pengabdian dalam dalam pendidikan seni,
Penghargaan Empu Ageng dari ISI Yogyakarta 2014.
Cultural Award Scheme dari pemerintah Australia,
Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI.
Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang pelukis, tetapi ia juga dikenal sebagai pejuang, pemikir dan organisatoris. Di kalangan rekan-rekannya, ia dikenal sebagai pelukis yang konsisten dengan suara panggilan nuraninya, meskipun pada waktu ada “boom” seni lukis, ia tidak bergeming dalam memilih apa yang sudah dipilihnya.
Ia dibesarkan dari keluarga mapan. Ayahnya, Hoesen Adimihardja asal Purwakarta adalah seorang pegawai negeri yang bekerja pada jawatan pengairan. Awal mula ia menyukai dunia seni lukis adalah saat ia bersekolah di HIS (Holandsche Inlandsche School). Pelajaran menggambarnya cukup menonjol. Begitu juga ketika ia meneruskan studinya di Sihan Gakko.
Seperti anak-anak lainnya, saat ia belum merasa tertarik untuk menekuni seni lukis. Apa yang dilakukannya hanya karena ada pelajaran menggambar. Tetapi lama-kelamaan, ia mulai tergerak ketika ia melongok di Keimin Bunka Sidhoso sebuah lembaga kesenian yang didirikan oleh pemerintah Jepang. Ia mulai tertarik dan ikut bergabung, pada waktu itu usianya baru 15 tahun.
Di tempat itu, ia mulai merasakan ada sesuatu yang perlu dan patut dikembangkan. Ia mulai berpikir untuk terjun ke dunia seni lukis. Abas Alibasyah lalu bergaul dengan pelukis lainnya seperti Hendra Gunawan, Barli Sasmitawinata dan Affandi. Mereka banyak memberi pengaruh terhadap dirinya. Dari sanalah kemudian Abas mulai menetapkan langkahnya menjadi seorang pelukis.
(Dikutip dari Blog Seni Rupa Indonesia)
Sampai saat ini saya belum menerima info tentang tempat, tanggal dan jam pemakaman beliau.
(Dikutip dari Blog Seni Rupa Indonesia)
Sampai saat ini saya belum menerima info tentang tempat, tanggal dan jam pemakaman beliau.
FADJAR SIDIK
Bersama guruku , Kauman Jogja 2004
Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Februari 1930. Pendidikan formalnya di tempuh di HIS Yogyakarta, sedangkan SMP dan SMA-nya di Surabaya. Tahun 1952, kembali ke Yogyakarta mengikuti kuliah di UGM dan juga ASRI (1954). Selain itu ia juga ikut belajar melukis di Sanggar Pelukis Rakyat di bawah asuhan Hendra Gunawan dan Sudarso di tahun 1952, serta berkesempatan pula selama hampir satu setengah tahun (1968-1970) belajar di Selandia Baru tentang Art Restoration Technique and Conservation.

Sejak Tahun 1957-1961 bermukim di Bali, berkawan dengan sejumlah pelukis antara lain Alimin, Sri Widodo dan O.H. Supono. Pada akhir tahun 1961 kembali ke Yogyakarta dan mengajar di ASRI. Sejak 1966 menjadi dosen tetap di ASRI. Selanjutnya tahun 1967-1983 menjadi Ketua Jurusan Seni Lukis di alamaternya tersebut. Ia dikenal sebagai pengajar yang mampu merangsang diskusi tajam di lingkungan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Corak lukisannya beralih dari realisme ke abstrak di awal tahun 60-an. Pilihannya terhadap lukisan abstrak, banyak dipengaruhi oleh masa perantauannya di Bali, yang dianggapnya hanya melukis ‘benda industri’, yang meskipun indah tak semestinya ditangkap sebagai obyek representasi. Ia menganggapnya telah menipu dirinya sendiri, sehingga menciptakan obyek-obyek sendiri untuk keperluan ekspresi.
"Entah mengapa," tulis Fadjar pada 1970-an, "hasil industri itu banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis; mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung.... Saya kehilangan obyek-obyek pelukisan yang artistik dan puitis. Ah, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industri itu, mengapa tak menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni yang bisa

Sejak Tahun 1957-1961 bermukim di Bali, berkawan dengan sejumlah pelukis antara lain Alimin, Sri Widodo dan O.H. Supono. Pada akhir tahun 1961 kembali ke Yogyakarta dan mengajar di ASRI. Sejak 1966 menjadi dosen tetap di ASRI. Selanjutnya tahun 1967-1983 menjadi Ketua Jurusan Seni Lukis di alamaternya tersebut. Ia dikenal sebagai pengajar yang mampu merangsang diskusi tajam di lingkungan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Corak lukisannya beralih dari realisme ke abstrak di awal tahun 60-an. Pilihannya terhadap lukisan abstrak, banyak dipengaruhi oleh masa perantauannya di Bali, yang dianggapnya hanya melukis ‘benda industri’, yang meskipun indah tak semestinya ditangkap sebagai obyek representasi. Ia menganggapnya telah menipu dirinya sendiri, sehingga menciptakan obyek-obyek sendiri untuk keperluan ekspresi.
"Entah mengapa," tulis Fadjar pada 1970-an, "hasil industri itu banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis; mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung.... Saya kehilangan obyek-obyek pelukisan yang artistik dan puitis. Ah, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industri itu, mengapa tak menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni yang bisa
******
YUNISA 3 Januari 2012
Pemberontakan telah ia lakukan. Tapi bukan kepada Negara, untuk merebut pemerintahan. Ia hanya memberontak kepada keseniannya, yaitu seni lukis, untuk mencapai purify of form (kemurnian bentuk). Dan seperti judul sebuah buku terbitan I:Boekoe, pemberontak tak selalu salah.
Adalah Fadjar Sidik, pria kelahiran Peneleh, Surabaya, 8 Februari 1930 ini, telah berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Dalam lukisan-lukisannya, ia menciptakan bentuk-bentuk abstrak yang disebutnya “desain ekspresif”.
Karya-karyanya telah bergeser dari pokok figuratif ke raut nirmana; dari ruang representasional (pictorial) ke bidang yang cuma asyik mencacah bentuk (picturesque). Dan alasan kehadiran seni lukisnya, katanya, sama saja dengan cap tangan manusia purba yang tertera di dinding gua 20 ribu tahun silam.
Salah satu manifestasi pencapaian bentuk abstrak murni Fadjar Sidik, bisa dilihat dalam lukisannya Dinamika Keruangan (1969). Dalam karyanya ini, ia menampilkan ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitam dan warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang menetaskan kelegaan.
Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk bulan dan sabit, hal itu sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan dengan nilai simbolik bulan penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan sarangnya yang mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis lebih menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain.
Kemudian mengenai judul-judul lukisan abstraknya, secara semantik, kata-kata dalam judul mempunyai koherensi yang kuat dengan karakter bentuk-bentuk karyanya. Seperti pada serial “Dinamika Keruangan”, “Interior”, “Fantasi Lurik”, “Metropol”, serta “Sangkala”, walaupun tidak memiliki muatan nilai-nilai literer atau sosial, namun tetap mencerminkan karakter-karakter visual yang mempunyai koherensi dengan prinsip-prinsip visual yang mengasosiasikan bentuk-bentuk pada serial judul-judul itu.
Dalam perjalanan kesenian Fadjar Sidik, ada dua unsur kuat yang memberikan warna pengaruh. Unsur pertama adalah pemikiran-pemikiran Barat yang terbentuk lewat pendididkan formal dan suasana kultural dalam kehidupan masa kecil. Dan unsur kedua adalah pendidikan sanggar, yang memberikan dasar-dasar penguasaan teknik dan pemahaman atas sikap serta etos kerja seniman.
Fadjar Sidik lahir dari keluarga yang kental dengan kultur Islam. Ayahnya yaitu M. Sidik adalah seorang pengikut Muhammadiyah yang aktif, dan ibunya, yaitu Dewi Maryam adalah pengurus Aisiyah. Namun demikian, keluarga yang kental dengan kultur Islam ini kena imbas semangat nasionalisme dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang banyak lahir di daerahnya.
Tahun 1942 Fadjar Sidik dikirim ke HIS Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta. Harapannya agar ia berinteraksi dengan kemajuan pendidikan Barat sekaligus nasionalis dan religius seperti tokoh-tokoh pergerakan nasional yang dikagumi ayahnya. Tapi di HIS, Fadjar justru sangat antusias dengan pelajaran menggambar.
Minat pada seni lukis semakin mendapat suasana yang kondusif lewat bacaan-bacaan. Di tempat pemondokannya, yaitu di Kauman, rumah keluarga H. Mochtar seorang pegawai Raad van Agama, ia dapat menyerap bacaan-bacaan dari majalah Orient dan Djawa Baroe yang menjadi langganan keluarga itu.
Kemudian pada masa sekolah di SMA tahun 1949, Fadjar Sidik telah mulai mencoba membuat sketsa dan vignette yang dikirim ke majalah-majalah kebudayaan, dan dimuat. Hal ini selain memberikan kepercayaan pada bakat melukisnya, juga membulatkan wacana pada kebudayaan yang berorientasi pada modernisme Barat.
Tahun 1952 Fadjar Sidik meneruskan kuliah di Sastra UGM. Jurusan itu telah menyuburkan minatnya terhadap kebudayaan Barat. Selanjutnya untuk menyalurkan hasrat melukisnya, ia masuk ASRI bagian V, yaitu guru gambar. Tapi di situ pun Fadjar lebih banyak porsi teori. Lalu ia mendatangi Sudjojono untuk belajar, tapi ia disarankan ke Sanggar Pelukis Rakyat. Di sanggar inilah ia dapat menguasai sketsa menjadi bahasa visualnya.
Tahun 1957, pada konggres Lekra di Solo, Sanggar Pelukis Rakyat resmi menjadi underbrow PKI. Fadjar Sidik yang telah terisi dengan berbagai konstruk pemikiran Barat, meninggalkan sanggar itu dan meneruskan petualangan estetiknya ke Bali.
Di Bali Fadjar Sidik dapat menemukan gairah baru dalam berkarya. Di sini objek-objek artistik melimpah, komunitas seniman tersebar, dan pendukung komersial kuat, hingga menyuburkan kreativitas. Sketsa-sketsa Fadjar Sidik pun mengalir deras merekam aktivitas kehidupan sehari-hari yang unik.
Akan tetapi pembangunan pariwisata telah mengubah wajah Bali. Dengan cepat, gedung, listrik, mobil, jalan aspal, radio tape, alat-alat plastik mengubah Bali yang natural menjadi artificial. Fadjar Sidik pun gelisah karena kehilangan objek-objek yang artistik dan puitis.
Menurut Fadjar Sidik, hasil industri itu memang banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis. Mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung. Dan dalam melukis ini, ia mengaku tidak sampai hati.
Ia yang kecewa karena kehilangan dunia idealnya, akhirnya memutuskan, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industri itu, lebih baik menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni. Dan terjadilah bentuk-bentuk abstrak ciptaannya.
Tahun 1961, Abas Alibasyah mengajak Fadjar Sidik pulang ke Yogyakarta untuk mengajar di ASRI. Di situlah fadjar Sidik semakin kuat mengeksplorasi bentuk-bentuk abstrak dalam karyanya. Bentuk-bentuk yang ia ciptakan sendiri, tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam itu, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya.
Tapi tak sejalan dengan proses pencarian kemurniannya, penghargaan terhadap lukisannya cukup memprihatinkan. Pernah, seorang art dealer membeli sejumlah besar lukisannya dengan harga murah. Dan yang memprihatinkan lagi, penggemarnya di Indonesia sangat sedikit , dan malah banyak di luar negeri.
Fadjar Sidik yang meninggal dunia pada 18 Januari 2004 di rumahnya Yogyakarta, terbukti selama 40 tahun lebih telah mempertahankan keyakinan estetik abstraknya secara kuat. Ia telah menjadi agen perubahan dalam seni lukis modern sekaligus pelopor seni lukis abstrak di Indonesia. (yunisa)
Sumber:
Wawancara Oei Hong Djien, oleh Muhidin M Dahlan.
M. Dwi Marianto dan M. Agus Burhan, Fadjar Sidik, Dinamika bentuk dan ruang, Jakarta: Rupa-rupa seni, 2002.
Hendro Wiyanto , Jejak Modernisme Fadjar Sidik dalam http://majalah.tempointeraktif.com.
http://www.galeri-nasional.or.id.
Adalah Fadjar Sidik, pria kelahiran Peneleh, Surabaya, 8 Februari 1930 ini, telah berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Dalam lukisan-lukisannya, ia menciptakan bentuk-bentuk abstrak yang disebutnya “desain ekspresif”.
Karya-karyanya telah bergeser dari pokok figuratif ke raut nirmana; dari ruang representasional (pictorial) ke bidang yang cuma asyik mencacah bentuk (picturesque). Dan alasan kehadiran seni lukisnya, katanya, sama saja dengan cap tangan manusia purba yang tertera di dinding gua 20 ribu tahun silam.
Salah satu manifestasi pencapaian bentuk abstrak murni Fadjar Sidik, bisa dilihat dalam lukisannya Dinamika Keruangan (1969). Dalam karyanya ini, ia menampilkan ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitam dan warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang menetaskan kelegaan.
Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk bulan dan sabit, hal itu sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan dengan nilai simbolik bulan penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan sarangnya yang mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis lebih menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain.
Kemudian mengenai judul-judul lukisan abstraknya, secara semantik, kata-kata dalam judul mempunyai koherensi yang kuat dengan karakter bentuk-bentuk karyanya. Seperti pada serial “Dinamika Keruangan”, “Interior”, “Fantasi Lurik”, “Metropol”, serta “Sangkala”, walaupun tidak memiliki muatan nilai-nilai literer atau sosial, namun tetap mencerminkan karakter-karakter visual yang mempunyai koherensi dengan prinsip-prinsip visual yang mengasosiasikan bentuk-bentuk pada serial judul-judul itu.
Dalam perjalanan kesenian Fadjar Sidik, ada dua unsur kuat yang memberikan warna pengaruh. Unsur pertama adalah pemikiran-pemikiran Barat yang terbentuk lewat pendididkan formal dan suasana kultural dalam kehidupan masa kecil. Dan unsur kedua adalah pendidikan sanggar, yang memberikan dasar-dasar penguasaan teknik dan pemahaman atas sikap serta etos kerja seniman.
Fadjar Sidik lahir dari keluarga yang kental dengan kultur Islam. Ayahnya yaitu M. Sidik adalah seorang pengikut Muhammadiyah yang aktif, dan ibunya, yaitu Dewi Maryam adalah pengurus Aisiyah. Namun demikian, keluarga yang kental dengan kultur Islam ini kena imbas semangat nasionalisme dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang banyak lahir di daerahnya.
Tahun 1942 Fadjar Sidik dikirim ke HIS Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta. Harapannya agar ia berinteraksi dengan kemajuan pendidikan Barat sekaligus nasionalis dan religius seperti tokoh-tokoh pergerakan nasional yang dikagumi ayahnya. Tapi di HIS, Fadjar justru sangat antusias dengan pelajaran menggambar.
Minat pada seni lukis semakin mendapat suasana yang kondusif lewat bacaan-bacaan. Di tempat pemondokannya, yaitu di Kauman, rumah keluarga H. Mochtar seorang pegawai Raad van Agama, ia dapat menyerap bacaan-bacaan dari majalah Orient dan Djawa Baroe yang menjadi langganan keluarga itu.
Kemudian pada masa sekolah di SMA tahun 1949, Fadjar Sidik telah mulai mencoba membuat sketsa dan vignette yang dikirim ke majalah-majalah kebudayaan, dan dimuat. Hal ini selain memberikan kepercayaan pada bakat melukisnya, juga membulatkan wacana pada kebudayaan yang berorientasi pada modernisme Barat.
Tahun 1952 Fadjar Sidik meneruskan kuliah di Sastra UGM. Jurusan itu telah menyuburkan minatnya terhadap kebudayaan Barat. Selanjutnya untuk menyalurkan hasrat melukisnya, ia masuk ASRI bagian V, yaitu guru gambar. Tapi di situ pun Fadjar lebih banyak porsi teori. Lalu ia mendatangi Sudjojono untuk belajar, tapi ia disarankan ke Sanggar Pelukis Rakyat. Di sanggar inilah ia dapat menguasai sketsa menjadi bahasa visualnya.
Tahun 1957, pada konggres Lekra di Solo, Sanggar Pelukis Rakyat resmi menjadi underbrow PKI. Fadjar Sidik yang telah terisi dengan berbagai konstruk pemikiran Barat, meninggalkan sanggar itu dan meneruskan petualangan estetiknya ke Bali.
Di Bali Fadjar Sidik dapat menemukan gairah baru dalam berkarya. Di sini objek-objek artistik melimpah, komunitas seniman tersebar, dan pendukung komersial kuat, hingga menyuburkan kreativitas. Sketsa-sketsa Fadjar Sidik pun mengalir deras merekam aktivitas kehidupan sehari-hari yang unik.
Akan tetapi pembangunan pariwisata telah mengubah wajah Bali. Dengan cepat, gedung, listrik, mobil, jalan aspal, radio tape, alat-alat plastik mengubah Bali yang natural menjadi artificial. Fadjar Sidik pun gelisah karena kehilangan objek-objek yang artistik dan puitis.
Menurut Fadjar Sidik, hasil industri itu memang banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis. Mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung. Dan dalam melukis ini, ia mengaku tidak sampai hati.
Ia yang kecewa karena kehilangan dunia idealnya, akhirnya memutuskan, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industri itu, lebih baik menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni. Dan terjadilah bentuk-bentuk abstrak ciptaannya.
Tahun 1961, Abas Alibasyah mengajak Fadjar Sidik pulang ke Yogyakarta untuk mengajar di ASRI. Di situlah fadjar Sidik semakin kuat mengeksplorasi bentuk-bentuk abstrak dalam karyanya. Bentuk-bentuk yang ia ciptakan sendiri, tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam itu, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya.
Tapi tak sejalan dengan proses pencarian kemurniannya, penghargaan terhadap lukisannya cukup memprihatinkan. Pernah, seorang art dealer membeli sejumlah besar lukisannya dengan harga murah. Dan yang memprihatinkan lagi, penggemarnya di Indonesia sangat sedikit , dan malah banyak di luar negeri.
Fadjar Sidik yang meninggal dunia pada 18 Januari 2004 di rumahnya Yogyakarta, terbukti selama 40 tahun lebih telah mempertahankan keyakinan estetik abstraknya secara kuat. Ia telah menjadi agen perubahan dalam seni lukis modern sekaligus pelopor seni lukis abstrak di Indonesia. (yunisa)
Sumber:
Wawancara Oei Hong Djien, oleh Muhidin M Dahlan.
M. Dwi Marianto dan M. Agus Burhan, Fadjar Sidik, Dinamika bentuk dan ruang, Jakarta: Rupa-rupa seni, 2002.
Hendro Wiyanto , Jejak Modernisme Fadjar Sidik dalam http://majalah.tempointeraktif.com.
http://www.galeri-nasional.or.id.
No comments:
Post a Comment