Wednesday, 11 May 2016

GURU-GURU KAMI YA ALLAH

PELUKIS ABAS ALIBASYAH WAFAT RABU, 11 MAY 2016 JAM 17.20 WIB. DUNIA SENI RUPA INDONESIA BERKABUNG.
Profil Seniman Abas Alibasyah
Alibasyah Natapriyatna 
Lahir :Purwakarta Jawa Barat,11 Maret 1928
Pendidikan :HIS,Sihan Gakko,SMA BOPKRI,ASRI
Karier :
Pamong Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta,
Guru SMA Stella Deuce dan SMA Negeri III B (Padmanaba) Yogyakarta,
Dosen IKIP (Yogyakarta) dan dosen UGM,
Direktur ASRI (Yogyakarta) dan ASKI (Surakarta),
Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (Yogyakarta),
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kepala Lembaga Musikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Inspektur Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Anggota Konsorsium Seni Ditjen Dikti,
Anggota Badan Sensor Film, Anggota Dewan Film,
Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta.

Penghargaan :
Anugerah Seni tahun 80-an dari pemerintah,
Penghargaan dari DKJ untuk lukisan terbaik pada Biennale I,
Lempad Prize dari Yayasan Lempad Bali,
Penghargaan dari ISI Yogyakarta untuk pengabdian dalam dalam pendidikan seni,
Penghargaan Empu Ageng dari ISI Yogyakarta 2014.
Cultural Award Scheme dari pemerintah Australia,
Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI.
Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang pelukis, tetapi ia juga dikenal sebagai pejuang, pemikir dan organisatoris. Di kalangan rekan-rekannya, ia dikenal sebagai pelukis yang konsisten dengan suara panggilan nuraninya, meskipun pada waktu ada “boom” seni lukis, ia tidak bergeming dalam memilih apa yang sudah dipilihnya.
Ia dibesarkan dari keluarga mapan. Ayahnya, Hoesen Adimihardja asal Purwakarta adalah seorang pegawai negeri yang bekerja pada jawatan pengairan. Awal mula ia menyukai dunia seni lukis adalah saat ia bersekolah di HIS (Holandsche Inlandsche School). Pelajaran menggambarnya cukup menonjol. Begitu juga ketika ia meneruskan studinya di Sihan Gakko.
Seperti anak-anak lainnya, saat ia belum merasa tertarik untuk menekuni seni lukis. Apa yang dilakukannya hanya karena ada pelajaran menggambar. Tetapi lama-kelamaan, ia mulai tergerak ketika ia melongok di Keimin Bunka Sidhoso sebuah lembaga kesenian yang didirikan oleh pemerintah Jepang. Ia mulai tertarik dan ikut bergabung, pada waktu itu usianya baru 15 tahun.
Di tempat itu, ia mulai merasakan ada sesuatu yang perlu dan patut dikembangkan. Ia mulai berpikir untuk terjun ke dunia seni lukis. Abas Alibasyah lalu bergaul dengan pelukis lainnya seperti Hendra Gunawan, Barli Sasmitawinata dan Affandi. Mereka banyak memberi pengaruh terhadap dirinya. Dari sanalah kemudian Abas mulai menetapkan langkahnya menjadi seorang pelukis.
(Dikutip dari Blog Seni Rupa Indonesia)
Sampai saat ini saya belum menerima info tentang tempat, tanggal dan jam pemakaman beliau.


FADJAR SIDIK


Bersama guruku , Kauman Jogja 2004

Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Februari 1930. Pendidikan formalnya di tempuh di HIS Yogyakarta, sedangkan SMP dan SMA-nya di Surabaya. Tahun 1952, kembali ke Yogyakarta mengikuti kuliah di UGM dan juga ASRI (1954). Selain itu ia juga ikut belajar melukis di Sanggar Pelukis Rakyat di bawah asuhan Hendra Gunawan dan Sudarso di tahun 1952, serta berkesempatan pula selama hampir satu setengah tahun (1968-1970) belajar di Selandia Baru tentang Art Restoration Technique and Conservation.

Sejak Tahun 1957-1961 bermukim di Bali, berkawan dengan sejumlah pelukis antara lain Alimin, Sri Widodo dan O.H. Supono. Pada akhir tahun 1961 kembali ke Yogyakarta dan mengajar di ASRI. Sejak 1966 menjadi dosen tetap di ASRI. Selanjutnya tahun 1967-1983 menjadi Ketua Jurusan Seni Lukis di alamaternya tersebut. Ia dikenal sebagai pengajar yang mampu merangsang diskusi tajam di lingkungan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Corak lukisannya beralih dari realisme ke abstrak di awal tahun 60-an. Pilihannya terhadap lukisan abstrak, banyak dipengaruhi oleh masa perantauannya di Bali, yang dianggapnya hanya melukis ‘benda industri’, yang meskipun indah tak semestinya ditangkap sebagai obyek representasi. Ia menganggapnya telah menipu dirinya sendiri, sehingga menciptakan obyek-obyek sendiri untuk keperluan ekspresi.

"Entah mengapa," tulis Fadjar pada 1970-an, "hasil industri itu banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis; mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung.... Saya kehilangan obyek-obyek pelukisan yang artistik dan puitis. Ah, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industri itu, mengapa tak menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni yang bisa 

******
YUNISA 3 Januari 2012

Pemberontakan telah ia lakukan. Tapi bukan kepada Negara, untuk merebut pemerintahan. Ia hanya memberontak kepada keseniannya, yaitu seni lukis, untuk mencapai purify of form (kemurnian bentuk).  Dan seperti judul sebuah buku terbitan I:Boekoe, pemberontak tak selalu salah.

Adalah Fadjar Sidik, pria kelahiran Peneleh, Surabaya, 8 Februari 1930 ini, telah berjuang  sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Dalam lukisan-lukisannya, ia menciptakan bentuk-bentuk abstrak yang disebutnya “desain ekspresif”.

Karya-karyanya telah bergeser dari pokok figuratif ke raut nirmana; dari ruang representasional (pictorial) ke bidang yang cuma asyik mencacah bentuk (picturesque). Dan alasan kehadiran seni lukisnya, katanya, sama saja dengan cap tangan manusia purba yang tertera di dinding gua 20 ribu tahun silam. 

Salah satu manifestasi pencapaian bentuk abstrak murni Fadjar Sidik, bisa dilihat dalam lukisannya Dinamika Keruangan (1969). Dalam karyanya ini, ia menampilkan ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitam dan warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang menetaskan kelegaan. 

Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk bulan dan sabit, hal itu sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan dengan nilai simbolik bulan penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan sarangnya yang mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis lebih menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain. 

Kemudian mengenai judul-judul lukisan abstraknya, secara semantik, kata-kata dalam judul mempunyai koherensi yang kuat dengan karakter bentuk-bentuk karyanya. Seperti pada serial “Dinamika Keruangan”, “Interior”, “Fantasi Lurik”, “Metropol”, serta “Sangkala”, walaupun tidak memiliki muatan nilai-nilai literer atau sosial, namun tetap mencerminkan karakter-karakter visual yang mempunyai koherensi dengan prinsip-prinsip visual yang mengasosiasikan bentuk-bentuk pada serial judul-judul itu. 

Dalam perjalanan kesenian Fadjar Sidik, ada dua unsur kuat yang memberikan warna pengaruh. Unsur pertama adalah pemikiran-pemikiran Barat yang terbentuk lewat pendididkan formal dan suasana kultural dalam kehidupan masa kecil. Dan unsur kedua adalah pendidikan sanggar, yang memberikan dasar-dasar penguasaan teknik dan pemahaman atas sikap serta etos kerja seniman. 

Fadjar Sidik lahir dari keluarga yang kental dengan kultur Islam. Ayahnya yaitu M. Sidik adalah seorang pengikut Muhammadiyah yang aktif, dan ibunya, yaitu Dewi Maryam adalah pengurus Aisiyah. Namun demikian, keluarga yang kental dengan kultur Islam ini kena imbas semangat nasionalisme dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang banyak lahir di daerahnya. 

Tahun 1942 Fadjar Sidik dikirim ke HIS Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta. Harapannya agar ia berinteraksi dengan kemajuan pendidikan Barat sekaligus nasionalis dan religius seperti tokoh-tokoh pergerakan nasional yang dikagumi ayahnya. Tapi di HIS, Fadjar justru sangat antusias dengan pelajaran menggambar. 

Minat pada seni lukis semakin mendapat suasana yang kondusif lewat bacaan-bacaan. Di tempat pemondokannya, yaitu di Kauman, rumah keluarga H. Mochtar seorang pegawai Raad van Agama, ia dapat menyerap bacaan-bacaan dari majalah Orient dan Djawa Baroe yang menjadi langganan keluarga itu. 

Kemudian pada masa sekolah di SMA tahun 1949, Fadjar Sidik telah mulai mencoba membuat sketsa dan vignette yang dikirim ke majalah-majalah kebudayaan, dan dimuat. Hal ini selain memberikan kepercayaan pada bakat melukisnya, juga membulatkan wacana pada kebudayaan yang berorientasi pada modernisme Barat.

Tahun 1952 Fadjar Sidik meneruskan kuliah di Sastra UGM. Jurusan itu telah menyuburkan minatnya terhadap kebudayaan Barat. Selanjutnya untuk menyalurkan hasrat melukisnya, ia masuk ASRI bagian V, yaitu guru gambar. Tapi di situ pun Fadjar lebih banyak porsi teori. Lalu ia mendatangi Sudjojono untuk belajar, tapi ia disarankan ke Sanggar Pelukis Rakyat. Di sanggar inilah ia dapat menguasai sketsa menjadi bahasa visualnya.

Tahun 1957, pada konggres Lekra di Solo, Sanggar Pelukis Rakyat resmi menjadi underbrow PKI. Fadjar Sidik yang telah terisi dengan berbagai konstruk pemikiran Barat, meninggalkan sanggar itu dan meneruskan petualangan estetiknya ke Bali. 

Di Bali Fadjar Sidik dapat menemukan gairah baru dalam berkarya. Di sini objek-objek artistik melimpah, komunitas seniman tersebar, dan pendukung komersial kuat, hingga menyuburkan kreativitas. Sketsa-sketsa Fadjar Sidik pun mengalir deras merekam aktivitas kehidupan sehari-hari yang unik.

Akan tetapi pembangunan pariwisata telah mengubah wajah Bali. Dengan cepat, gedung, listrik, mobil, jalan aspal, radio tape, alat-alat plastik mengubah Bali yang natural menjadi artificial. Fadjar Sidik pun gelisah karena kehilangan objek-objek yang artistik dan puitis.

Menurut Fadjar Sidik, hasil industri itu memang banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis. Mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung. Dan dalam melukis ini, ia mengaku tidak sampai hati.

Ia yang kecewa karena kehilangan dunia idealnya, akhirnya memutuskan, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industri itu, lebih baik menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni. Dan terjadilah bentuk-bentuk abstrak ciptaannya.

Tahun 1961, Abas Alibasyah mengajak Fadjar Sidik pulang ke Yogyakarta untuk mengajar di ASRI. Di situlah fadjar Sidik semakin kuat mengeksplorasi bentuk-bentuk abstrak dalam karyanya. Bentuk-bentuk yang ia ciptakan sendiri, tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam itu, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya.

Tapi tak sejalan dengan proses pencarian kemurniannya, penghargaan terhadap lukisannya cukup memprihatinkan. Pernah, seorang art dealer membeli sejumlah besar lukisannya dengan harga murah. Dan yang memprihatinkan lagi, penggemarnya di Indonesia sangat sedikit , dan malah banyak di luar negeri.

Fadjar Sidik yang meninggal dunia pada 18 Januari 2004 di rumahnya Yogyakarta, terbukti selama 40 tahun lebih telah mempertahankan keyakinan estetik abstraknya secara kuat. Ia telah menjadi agen perubahan dalam seni lukis modern sekaligus pelopor seni lukis abstrak di Indonesia. (yunisa)

Sumber: 
Wawancara Oei Hong Djien, oleh Muhidin M Dahlan. 
M. Dwi Marianto dan M. Agus Burhan, Fadjar Sidik, Dinamika bentuk dan ruang, Jakarta: Rupa-rupa seni, 2002.
Hendro Wiyanto , Jejak Modernisme Fadjar Sidik dalam http://majalah.tempointeraktif.com.
http://www.galeri-nasional.or.id.

    


ETNIK DAN ETIK SABAH


BERGURU DENGAN YANG ARIF. TERIMA KASIH PROF MADYA DR RAMZAH DAMBUL @ REM DAMBUL. IZIN SAYA SIMPAN DI SINI YA....TERIMA KASIH SUNGGUH....

Oku, ih Rem Dambul, polombus do pason kuma tompinai om tambalut toinsanan:
– kopisanangan do kinorikatan wulan kokotuan 2016
– timpu tokou momogirot diti rati do pirurukutan, pitatabangan om pisompuruan
Saya, Rem Dambul, ingin menyampaikan ucapan kepada sekalian saudara mara dan sahabat:
– selamat menyambut kedatangan bulan menuai 2016
– detik buat kita memperkasa erti perkongsian, permuafakatan dan perpaduan
1
Sabah mempunyai 32 etnik. Kelompok terbesar ialah Kadazandusun Murut (KDM) yang memayungi pelbagai sub-suku dari kumpulan dusunik, paitanik dan murutik. KDM dalam konteks tradisional dikenal sebagai komuniti agrarian penanam padi. Sebab itu mereka menyambut Kaamatan (perayaan pesta menuai) sepanjang bulan Mei pada setiap tahun.
Kenapa bulan Mei? Berdasarkan kitaran iklim tahunan Borneo, Mei ialah penghujung monsun timurlaut (musim semi) sebelum datang musim kering yang bermula Jun. Pada bulan terakhir ini, padi yang ditanam dengan bantuan hujan semulajadi sepanjang musim semi sudah mula masak dan sedia untuk dituai.
2
Jika mengikut status quo natif, majlis Kaamatan sebenarnya disambut sebagai tradisi kekeluargaan (sampaganakan) dan perkampungan setempat (sangkawalaian). Teras terpenting bagi sambutan ini ialah moginakan (kenduri kesyukuran). Ia ditunjangi oleh tiga semangat utama yang saling berkaitan: mitatabang (bergotong royong), mirurukut (berkongsi sumber) dan misompuru (bersatu padu).
Pesta Kaamatan (seperti yang dikenali oleh majoriti masyarakat umum sekarang) merupakan versi rasmi yang telah diinstitusikan menjadi hari kebesaran negeri (31 Mei ialah hari kemuncak). Unduk Ngadau diperkenal sebagai tarikan budaya dalam usaha mengarusperdanakan perayaan tradisional ini, yang kini telah diangkat sebagai satu perayaan sepunya rakyat Sabah seluruhnya. Konsep dan falsafah Unduk Ngadau disadur dari lagenda rakyat paling ikonik bagi komuniti KDM i.e. kisah pengorbanan kudus Huminodun. Seorang sumandak (perawan muda) yang mencagarkan jasadnya sendiri sebagai benih padi demi menyelesaikan isu kebuluran.
3
Lima model lelaki kachak memperaga pakaian tradisional koleksi Rumah Pangi. Dari kiri ke kanan (mengikut etnik dan domain geografi tipikal suku yang diwakili): bangkad suku Liwan (Ranau), bhadhu suku Rungus (Kudat), sinapak suku Tindal (Kota Belud), badu suku Bajau Sama (Kota Belud) dan rasuk suku Tangara (Papar).
Bajau Sama tidak termasuk dalam rumpun KDM. Tetapi komuniti ini mempunyai hubungan sosiobudaya yang sangat intim dengan KDM, khususnya suku Tindal (Kota Belud), Kimaragang (Kota Marudu) dan Lotud (Tuaran). Sebab itu pakaian tradisional tiga sub-suku KDM tersebut sangat meriah dengan tatarias warna dan aksesori. Ia natijah dari asimilasi tradisi busana komuniti Bajau. Fusion inter-etnik ini salah satu bukti misali bahawa gagasan 1Malaysia telah lama hidup bertunjang dan mendahului di Sabah.

Lima reka bentuk busana etnik lelaki Sabah @ koleksi Rem Dambul
******
Lima Trivia Kontemporari Tentang Tadau Kaamatan
.
1 – Tagayo vs Tagazo
Seorang kawan dari Semenanjung bertanya: antara ‘Kotobian Tadau TAGAYO do Kaamatan’ dan ‘Kotobian Tadau TAGAZO do Kaamatan’ – mana yang betul? Dia mau tulis ucapan, tapi confused katanya. Takut tersalah nanti.

Dua-dua pun betul. Ungkapan itu bermaksud: Selamat Hari KEBESARAN Menuai. Perkataan 'tagayo' atau 'tagazo’ (yang secara literal bermaksud ‘besar’) ditambah pada ucapan hari Kaamatan dengan tujuan mahu menunjukkan bahawa ini adalah hari kebesaran terpenting bagi komuniti Kadazandusun Murut (KDM).

Perbezaan itu cuma variasi sebutan bagi suku berlainan dalam KDM. ‘Tagayo’ adalah dialek 
Bunduliwan yang telah diisytihar pada 1995 sebagai laras standard bagi kurikulum pendidikan Bahasa Kadazandusun. Sebab dialek ini ditutur oleh kelompok sub-etnik KDM yang terbesar, iaitu komuniti Dusun yang menghuni Ranau dan Tambunan.

‘Tagazo’ pula adalah dialek Tangara, iaitu dari komuniti KDM yang paling urban, khususnya Kadazan Penampang. Dialek ini masih diguna meluas dalam komunikasi publik (walaupun Bunduliwan telah diangkat sebagai laras baku) kerana tradisi persuratan pertama KDM bermula dengan bahasa suku Tangara. Bahkan, sampai sekarang pun, kolum Kadazandusun dalam suratkhabar tempatan majoritinya masih menggunakan dialek ini.

.
2 – Unduk vs Runduk
Unduk Ngadau atau Runduk Tadau? Ada juga yang bertanya ini. Sebab sekarang sudah ada pelbagai istilah diguna untuk acara ‘ratu Kaamatan’.
Ini juga cuma perbezaan dialek. Komuniti KDM terdiri dari lebih 20 sub-suku (ada macam-macam asas klasifikasi yang diguna). Meski pun ada 'common culture' yang mengikat semua suku dalam rumpun yang besar ini – masih terdapat perbezaan-perbezaan kecil dari pelbagai segi; misalnya bahasa, tatarias busana dan adat resam.

Unduk Ngadau secara literal bermaksud ‘tunas matahari’. Ia satu manifestasi tersirat kepada pucuk muda yang bercambah dan menjulur ke arah sinar matahari. Ia membawa simbolik tentang kecantikan, kekuatan dan kemurnian. Dalam dialek Bunduliwan pucuk itu dipanggil ‘tunduk’; dalam dialek Kimaragang ia disebut ‘runduk’. Untuk matahari, 'tadau' adalah common bagi kebanyakan dialek.

Kalau begitu, kenapa jenama yang popular adalah Unduk Ngadau – bukan Tunduk Tadau atau Runduk Tadau? Begini, ‘unduk’ dan ‘ngadau’ sebenarnya adalah terbitan dari perkataan dasar tadi. Ia diberi pesona manja demikian supaya kedengaran lebih comel (sama juga dengan kes BM; ‘sayang’ jadi ‘ayang’, atau ‘emak’ jadi ‘mak’). Tunduk atau tadau – bernuansa agak formal, kaku dan skema.

Tapi itu juga bergantung kepada citarasa penganjur. Sebab itu ada macam-macam variasi sekarang. Selain ‘unduk ngadau’ yang sudah established, ada juga yang guna ‘runduk tadau’, ‘tunduk tadau’ atau ‘unduk adau’, etc. Semuanya betul dan masih merujuk simbolik entiti yang sama. Personally I think this is good. Because it shows the diversity of KDM’s dialects. Itu mengajar kita untuk saling meraikan perbezaan, sambil mengekalkan ‘pisompuruan’ (perpaduan).
Ratu vs Moginakan
Satu lagi pertanyaan lazim. Adakah ‘unduk ngadau’ (ratu menuai) ini adalah unsur terpenting dalam perayaan Kaamatan? Sebab dalam mana-mana peringkat sambutan, ia telah dinobat sebagai acara kemuncak.

Bukan! Dalam tradisi asli Kaamatan sebenar, elemen terpenting adalah ‘moginakan’ (makan beramai-ramai). Ia biasa dibuat pada pelbagai hierarki – dari perhimpunan ‘paganakan’ (keluarga) sampai kepada ‘kawalaian’ (komuniti sekampung). Semasa kenduri gadang ini, setiap orang atau wakil keluarga akan ‘mirukut-rukut’ (berkongsi) pelbagai jenis keperluan. Ada yang bawa beras, ada yang bawa sayur, ada yang bawa ikan, ada yang bawa buah, etc. Amalan ini menjana ‘pisompuruan’ (perpaduan) secara organik dan natural. Inilah tradisi asal perayaan Kaamatan KDM. Unsur terasnya ditunjangi ‘moginakan’ (kenduri). 

Bagaimanapun, sejak tahun 70-an Kaamatan telah mula diinstitusikan sebagai acara kebesaran Sabah yang merentas semua kaum. Dalam konteks persanakan dan kekeluargaan KDM, Kaamatan masih kekal sebagai budaya menghormati semangat padi secara simbolik. Atau dalam tafsiran mudah (dan disesuaikan dengan kehidupan beragama kontemporari – sama ada Islam atau Kristian), perayaan itu bertujuan mensyukuri rezeki yang telah dianugerah oleh ‘minamangun’ (Tuhan yang di atas sana). 

Tapi dalam konteks masyarakat Sabah, Kaamatan yang kini telah diinstitusikan sebagai perayaan sepunya ini – menzahirkan hasrat perpaduan kolektif seluruhnya. Justeru, Unduk Ngadau diangkat jadi item mercutanda perayaan – kerana sifatnya yang lebih kasual dan audience-friendly. Unduk Ngadau sendiri masih mendokong citra budaya KDM yang signifikan. Kerana ‘sumandak’ (gadis) yang dimahkotakan dalam acara ini bukan membawa gelar ‘ratu’ semata-mata. Tetapi dia mewakili pesona Huminodun, iaitu wanita lagenda yang mengorbankan diri demi meneruskan survival kaum KDM.

Ya, itulah perbezaan antara Kaamatan konteks tradisi KDM yang autentik, dan Kaamatan versi kontemporari yang telah diinstitusikan sebagai perayaan budaya milik sepunya semua penduduk Sabah. Kedua-dua konsep penting dalam melestarikan perayaan tahunan ini.

 4 – Kaamatan vs Kokotuan
Sambutan pesta menuai sekarang juga sudah ada dua jenama utama. Satu dikenali sebagai Tadau Kaamatan (biasanya anjuran Kadazandusun Cultural Association, KDCA); dan satu lagi Tadau Kokotuan (biasanya di bawah organisasi United Sabah Dusun Association, USDA). Ini adalah dua badan penting yang memayungi aktiviti kebudayaan komuniti KDM.

Ada yang mencebik: kenapa guna label berbeza-beza untuk perayaan yang sama? Bukahkan ini menyanggah semangat ‘pisompuruan’ (perpaduan)? Saya fikir tiada masalah pun. Istilah saja berbeza, tapi hasrat dan nilai tetap sama. Ini juga bukan perkara baru timbul. Bagi yang celik sejarah dan prihatin dengan perkembangan budaya KDM, mereka tahu bahawa ini telah lama wujud dan tidak pernah jadi isu. Ia bukan bertujuan memecah-mecahkan KDM. Ia cuma usaha mau mengangkat kepelbagaian yang ada dalam sub-suku KDM yang rencam itu. So we all can learn how to embrace our own diversity.

Masa kecil-kecil dulu, saya tidak pernah dengar istilah ‘Kaamatan’. Sebab di Ranau ia disambut dengan nama ‘Kokotuon’ (sebelum istilah Kaamatan diguna secara standard di seluruh Sabah menjelang penghujung 80-an, kalau tidak silap). Lagu rasmi Kaamatan paling klasik dan tersohor tentunya ‘Norikot Nodi Bulan Lima’ (John Gaishah, circa 1970-an). Dalam lirik lagu tersebut, sambutan pesta menuai ini dirujuk sebagai Tadau Kokotuan. Ini amat serasi dengan komuniti Bunduliwan (Ranau – Tambunan), yang merupakan kelompok suku KDM terbesar di Sabah.

KAAMATAN (dari kata asal ‘mengomot’ – mengetam) dan KOKOTUAN (‘mengotu’ – memetik): kedua-dua merujuk kepada perihal menuai hasil. Mungkin mengetam itu lebih spesifik kepada padi. Manakala memetik itu lebih umum sifatnya. Tetapi keduanya mendukung semangat asal Kaamatan, iaitu mensyukuri rezeki yang dikurniakan Tuhan menerusi aktiviti agro (sistem ekonomi tradisional KDM). Bagi komuniti Bunduliwan, sumber rezeki bukan eksklusif kepada padi saya. Selain dari ‘mengomot parai’, mereka juga ‘mengotu’ pelbagai jenis hasil lain – seperti tutan, tunduk mundok, roun tonduripis, dukaruk, etc. Sebab itu istilah ‘kokotuan’ lebih intim, mesra dan original untuk komuniti Dusun di tanah pedalaman ini.

Bagi saya secara personal, dua-dua pun ok. Tiada isu yang perlu dilaga-lagakan. Jenama perayaan yang berbeza ini masing-masing membawa signfikan yang saling memperkaya tradisi gemilang KDM. Kaamatan, yang diinstitusikan dengan ciri Tanggara-sentrik (rujuk lagu dan melodi lagu Kaamatan rasmi pasca 1990-an), mungkin mempunyai tarikan yang lebih pop. Manakala Kokotuan pula membawa sentimen dan nostalgia yang lebih unik, khususnya kepada generasi Dusun non-urban. Kedua-duanya ada keistimewaan tersendiri.

.
5 – Amalan Budaya vs Ritual Agama
Trivia terakhir: Tadau Kaamatan atau Kokotuan ini perayaan agama atau kebudayaan? Ia adalah acara budaya dan adat resam. Bukan ritual kepercayaan. Tiada elemen dalam Kaamatan yang bercanggah dengan prinsip teologi agama Abrahamiyah – sama ada Islam atau Kristian. 

Memang komuniti KDM asalnya pengamal animisme, iaitu mempercayai kuasa alam. Konsep ketuhanan (kinorohingan) tradisional masyarakat ini berasaskan semangat natural yang ada di persekitaran (misalnya, ‘bambarayon’, ‘aki nabalu’, etc). Kaamatan adalah manifestasi rasa syukur terhadap rezeki yang dikurniakan oleh ‘kinorohingan’ – tetapi ia bukan eksklusif kepada Tuhan tradisional era animisme semata-mata. Ia juga merangkumi konsep ketuhanan yang pelbagai. Asasnya adalah ‘moginakan’ (kenduri), ‘kounsikahan minamangun’ (bersyukur), ‘miramai-ramai’ (bergembira) dan akhirnya menuju kepada ‘pisompuruan’ (perpaduan) komuniti.

Menerusi kefahaman terhadap falsafah dasar perayaan ini, penganut KDM (sama ada Islam atau Kristian) boleh menyesuaikannya dengan ajaran agama masing-masing. Keluarga saya misalnya, kami menyambut Kaamatan dengan ‘moginakan’ (kenduri) yang disertai solat jemaah dan doa kesyukuran. Ini sejajar dengan konsep silahturrahim (misompuru) dan berterima kasih kepada Tuhan atas rezeki yang diberi. Kami juga abaikan acara ‘moginum’ (yang bertentangan dengan ajaran Islam), kerana tradisi KDM sebenar bukan disandarkan semata-mata kepada pengambilan ‘minuman keras’ (arak). Falsafahnya terletak pada konsep gotong-royong ‘monginomol’ (membuat tapai dari padi yang dituai sebagai satu apresiasi kepada semangat padi, iaitu Bambarayon). Tetapi KDM sekarang bukan lagi penanam padi tegar. Konsep rezeki telah diperluaskan dalam pelbagai sektor dan bidang ekonomi lain. 

Maka ‘monginomol’ (menapai) itu boleh disimbolikkan dengan aktiviti-aktiviti lain yang boleh mencipta semangat gotong-royong dan pisompuruan yang sama (misalnya: ramah-mesra, sukaneka, pertandingan memasak, etc). Bukan disempitkan hanya kepada acara minum tapai, lihing atau montoku.

Sekeluarga etnik Dusun Bundu Tuhan @ koleksi Rem Dambul


“Now, everyone can blog: http://remdambul.blogspot.com/ Yeay!”