Friday, 18 March 2016

KATA PENGANTAR DALAM BUKU RENCONG FIKAR W EDA 2003

Catatan Rencong

Masa Lalu dan PeristiwaKontemporer Aceh
Oleh Prof. Dr. Siti Zainon Ismail

ACEH yang disebut sejak masa lalu sebagai ‘Serambi Mekah’ telah sekian lama mewarnai budaya ilmu dan sejarah sastera yang panjang. Sebut saja Hamzah Fansuri , Sheik Nuruddin ar-Raniri tidak siapa dapat memadam namanya begitu itu. Amat disayangi sekali jika penulis modern hari ini tidak mengenal karya mereka. Begitu juga wilayah Aceh yang luas terutama sejak abad ke 17, bila Iskandar Muda dapat mengawasi kuasa Portugis di sepanjang Selat Melaka hingga jajahan takluknya meluasi jauh ke Semenanjung Tanah Melayu.


sebelum muncul Aceh Darussalam sudah disebut kewujudan Perlak dan Pasai sebagai wilayah pertama disinggahi bahtera Islam. Teks Sejarah Melayu memerikan peristiwa Merah Silu merebus cacing gelang-gelang hingga menjadi emas dan buihnya berganti perak. Kekayaannya itu telah dicemburi adiknya Merah Caga lalu mengungsi ke Rimba Jerun (dalam Hikayat Pasai disebut Rima Jerana).Tempat asal dua bersaudara ini dikatakan berada di negeri Biruan (Bireun sekarang) (lih. Russel Jones,edt.1999:9). Manakala tempat penemuan cacing gelang-gelang itu di sebut sebagai Padang Gelang-gelang (Shellabear,edt,1977:40). Begitu juga proses pengislaman di wilayah asal kerajaan Aceh itu telah disebut beberapa nama seperti Lamuri, Fansuri dan Haru yang telah ditadangi nakhoda Shikh Ismail sehingga Islam bertapak dengan jayanya. Namun takdir juga sejak dulu negeri kaya emas dan sumber alam lain ini terus dicemburui oleh siapa saja yang ‘melintas’ wilayah ini.KIRANYA fakta sejarah ini dapat kita hubungkan dengan ‘ kejayaan dan keagungan Aceh’ masa lalu yang harus dijadikan iktibar, kenapa sejarah dan budaya yang semakin sepi itu dilestarikan kembali. Di sinilah titik tolak bagi meninjau makna dan ghairah puisi Fikar W. Eda dalam Kumpulan Puisi Recong ini.Sejarah budaya : masa lalu dan peristiwa kontemporer AcehSejak masih berdaun muda, seorang pemuda remaja merenung keindahan Laut Gayo nun jauh di gunung pedalaman Aceh. Dia ber”Angan”, ‘ bulan jatuh di pusaran Laut Tawar ‘ namun yang ‘ ku kejar tak dapat ‘ . Ini di catat kala dia masih menyelusuri bumi Takengon. Pemuda berusia 21 tahun di manapun memang penuh angan dan cita-cita. Tetapi inilah “Rinduku” yang penuh bagai ‘ jerit ilalang’/ ‘ jerit bocah tengah malam’. Ada keruh puisi mula muncul di benak rindu itu. Mungkinkah detik pertemuan awal di Jabal Gafur dalam peristiwa pertemuan penyair Nusantara 1986 telah mengembangkan rindu anak muda ini, seolah ingin menerus dan menyampaikan rindu sebagai ‘rintihan dunia’Demikian anak jati Aceh tidak akan bisa terus bermain impi dengan angan-angan . Gejolak sejarah bumi kelahiran yang robek, dilanda musibah oleh pejruangan bangsa yang panjang sejak melawan Portugis dan Belanda berentetan dengan isu negara yang tidak selesai, telah membangunkan sejumlah tenaga protes, marah dan sendu. Inilah gerak minda dan gelora jiwa sehingga puisi melimpah. Fikar W.Eda yang menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh tidak terkecuali dengan limpahan puisi. Sepanjang peristiwa DOM yang mengikat mulut dan pasca DOM, semua mula ‘ bebas’ dan berani melontar ide dalam nada yang berbagai. Dan puisi adalah salah satu lontaran ide oleh respons suasana yang bergejolak itu. Sebagai contoh, walaupun perang melawan Belanda sudah lama berakhir, namun kesan kemarahan itu masih berbekas. Ungkapan Fikar lagi, Belanda atau Jakarta tidak ada bedanya, karena kini mereka ‘ melontarkan kemarahan hingga menyamakannya “Seperti Belanda ”…’ mereka pun menghunus sangkur/ dengan senapan siap tempur/rumah-rumah digempur/masjid, meunasah/dibuat hancur ‘Siapa dan di manakah Jakarta itu? Jelas penyair sendiri, ‘ …melebih Belanda / mereka perkosa istri-istri kami/mereka tebas leher putra putri kami/ mereka bunuh harapan dan cita-cita kami’. Puisi dicipta pada tahun 1999 , selepas pasca DOM. Nadanya langsung tanpa bersembunyi lagi. Apakah ini puncak kekecewaan yang lama penuh harap menanggung angan keamanan sejak usia masih balita sudah didongengkan dengan cerita Perang Sabil? Bagaimanakah menahan derita ,duka sehingga membuahkan dendam kemarahan kalau di hadapan mata semuanya adalah api? Maka tidak heran lagi, di mata dan sukma penyair ini, yang muncul ialah,“ …jari-jari penari seudati memercikkan apidada penari menyalakan apilangkah penari menjadi apisyair nyanyi adalah apiapi menjalar ke mana-manahalaman rumahtaman kota…’sehingga seterusnya inilah rakaman peristiwa sejarah semasa itu, bila masjid, pasar, kebun sawit, kopi, cengkeh, ombak, laut menjadi api, pesantren sekolah , kampus, hotel menjadi api.Pada hal harapan tetap menjadi tanda tanya, siapakah yang akan “menyalakan lampu Aceh/dengan warna kuning keemasan.” Inilah simbol harapan. Penyair tahu dan siapapun yang mempelajari sejarah Aceh, tahu zaman keagungan Aceh masa lalu telah dan bagai diarak mendung. Awan kelabu murung. Umum mengetahui lewat kitab-kitab sejarah, di mana letak ‘ lampu dengan warna kuning keemasan’ itu menyala! Di mana pula loceng cakradonya digantungkan dan krueung yang mengalir di bawah ‘dalam’ istana yang tembus ke darul isyki sebagai simbol masa lalu. Tetapi di mana itu semua?Lebih menyentuh hati kita ialah tentang derita panjang yang lama itu telah membuah dendam. Sebelum peristiwa DOM lagi, penyair telah melalui detik duka lara dan kemarahan itu memuncak dengan citra konkrit dalam puisinya “ Rajah”, dengan rasa penuh gerak yang dimanterakan berbunyi, ‘ eeeeeeeeeeeeeeeee’ (17 huruf e, silakan membunyikannya = eeeee ) diikuti dengan gamam ‘ mmmmmmmmmmmmmmmmmm’ (18 huruf = emmmemm…) itulah manik-manik (diri) yang dibakar menjadi bara nadikerana yang dicari , yang didatangi adalah rohmu, kualiri darahmu ,kuairi matamu, ku langkahi kaki mu …dan sejak lama penyair sudah meratapi dan me-‘luruhkan hatinya’ pada puisi. Bukankah inilah trauma sosio-budaya?Trauma sosio-budayaTrauma wujud dan berkembang tergantung kepada kekuatan dan kelemahan individu menganggapi suasana dan lingkungan tidak tenteram. Kesan perang dengan keadaan kehilangan, kekerasan terjadi dialami dan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik hingga membuahkan kesan negatif. Trauma has become a very popular in psychology, psychiatry and the social sciences, and its popularity is still growing rapidly’ (Rolf J.Kreber, edt.1995:11).1 Herman Oppenheim pula telah mengenalkan konsep traumatic neuriosis dan ini dilanjutkan oleh Pierre Janet, Josef Breuer and Sigmund Frued yang menguji kesan traumatic nature seperti gangguan hysteria (ibid). Dalam negara yang dihadapi dengan krisis dan konflik, titik awal pernderitaan bukan saja di sudut fisikal, kehancuran infra-sturuktur tetapi juga makna sengsara dari sudut mental dan spiritual. Pihak yang berkuasa berusaha menakluki ‘musuh’ sebagai pemuncul angkara. Rakyat pula memberontak, memprotes karena ketidak-adilan pemerintah dan bertindak untuk mendapat hak keadilan. Di kalangan penguasa , pemberontak harus dihapuskan. Dalam hal ini seniman tidak juga berdiam diri dan Fikar W.Eda yang turut trauma tentu ingin mengubat derita sukma itu sehingga puisi turut menjadi alat penyembuh – art as theraphy. Malah lebih menyatu, penyair dan karyanya turut menjadi sumber semangat , inspirasi untuk mempertahankan tanah air. Di Nanggroe Aceh Darussalam hal ini telah dibuktikan dengan puisi ulung karya Shikh Pante Kulu melalui Hikayat Perang Sabil . Perhatikan ungkapan penting dalam teks awal ini,Demikian hikayat merangsang perangMembangkitkan semangat pendengar beritaDi mana jumpa Belanda dicencangHilang melayang cinta dunia2Dalam hal semasa Aceh setelah DOM dicabut penyair lebih lantang bersuara. Antaranya Fikar sendiri, suaranya tetap lembut namun memberi arah,“…saudara-saudaramulai hari ini kita harus kerja kerasbahu membahu menyusun barisantak perlu risauapabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecahini biasa dalam perhelatan …’(dalam Nyala Aceh)Penyair ini dengan bersahaja terus berseru, mengingatkan hingga dapat memberi semangat pembangunan jiwa. Dalam judul “ Mari”. Dalam suasana desing peluru, penyair memberi arah dalam simbolis puisi,mariku lukis jemarimu di pasir inilantas tetesi darah kitabuat bekal anak-anak esokmari satukan rohdi bawah purnama inipertanda kitaberangkat dari satu titikmariapit semangat(di luar desing peluru)Puisi ini dicatat bagai mengingati semangat perjuangan ‘melawan’ peristiwa gangguan kehidupan rakyat Aceh, sepanjang tahun 1986 hingga 2001. Nadanya begitu bersahaja namun semangat api tetap bernyala. Hampir seluruh koleksi puisi dalam Kumpulan Puisi Rencong ini merekam unsur dan citra panas seperti, ‘ api’ (memercikkan api, menyalakan api, bara api, memerah api, menjadi api,nyala api, Aceh menyala, membakar, memanggang, kobaran api), ‘darah’ (tetesi darah, penuh darah, penuh luka,). Kumpulan puisi juga mewakili karya-karya penuh semangat oleh ledakan ‘ perang’ . Kita temui ungkapan dengan citra dan metafora yang kerap mengaitkan dengan kematian, kehancuran, kesesiaan dan kesebalan. Sebagai wartawan yang tinggal di Jakarta, Fikar tidak dapat menutup mata begitu saja, dia adalah anak watan yang merindui tanah kelahiran, kebeningan embun di tajuk renggali di Gayo, doa ine (ibu) dengan cerita rakyat “ batu belah” hingga ucapnya ‘ betapa sukmaku tak pernah lekang/dari wajahmu’ (puisi “ Sebuku”). Penyair anak jati Gayo, ini tahu ‘asalku dari hulu/menitis dari kesucian akar kayu’. Tetapi selama suasana tidak tertenteram, yang dilihat dan didengarnya selepas itu ialah ‘ pembantaian’ umat satu bangsa bermaruah yang telah lama merdeka. Harta bumi kelahiran yang kaya dengan ‘ gas alam, khazanah bumi,’telah dirampas oleh ‘ penimbun harta/yang tak lagi menyisakan zakat/dari ladang-ladang milik Tuhan ‘ (puisi “ Asalku dari Hulu”). Namun ’ selama pemerentahan Order Baru, ‘ mulut dikatup/kemana suara/tangan digari/kemana raba/hati dikunci / kemana rasa/ pada hal/ telah lama merdeka (puisi “ Kemana”).Bagaimana dapat menolak koleksi puisi ini daripada suasan perang? Baik tema sebagai struktur asas karya susastera mahupun semangat dalaman kerana yang dihantar kepada kita penuh dengan suasana ‘perang’ itu sendiri. Petikan ayat dengan citra berikut secara langsung dapat dirujuk sebagai mewakili bahan sejarah,‘…dari Jakartakalian hunjamkan mata rencong itutepat di jantung kami ‘ (puisi “ Rencong”,1998)atau,‘ menghunus sangkur’, ‘senapan siap tempur’ (puisi “ Seperti Belanda ” ); ‘lehermu ditembus peluru’ (puisi “ Bunga dan Peluru”) , ‘serombongan serdadu’, memainkan senapan’, ‘ membidik / dan dor ‘ (puisi “ Tubuh Rebah”), ‘ peluru-peluru bodoh yang ditembakkan ‘( puisi “ Aku Tak Bisa Berfikir” ), ‘engkau hunus mata pedang’ (puisi “ Lalu Kita”) , ‘desing peluru’ (puisi “ Cahaya Suci Matahari “), ‘deru peluru’ (puisi “Kabut Tipis Kaca Jendela”);Maka akibat dari trauma perang itu ialah dengan wujudnya ‘ para yatim dan piatu’ , ‘ penuh luka/penuh darah ‘ , ‘ jadi angkuh’ , sejarah remuk’ ( puisi “ Jerit Bukit”), ‘wajah-wajah gelisah’ (puisi “ Dari Balik Kaca Sebuah Menara”); ‘ candapun hilang makna’ (puisi “ Kabut Tipis kaca Jendela”) . Lebih bingung pula ada yang tidak mengerti, kenapa bisa terjadi, ‘ seorang perempuan/ asyik menulis kezaliman/ yang tidak pernah ia pahami’ (puisi “ Akulah Syair Itu”). Keseluruhan kesan negatif ke atas anak bangsa yang dihina oleh suasana perang itu, dilihat penyair sebagai, melemah jiwa,’ kemana rasa, kemana raba, kemana daya’ walaupun negeri ‘telah merdeka’ (puisi “ Kemana”) . lebih tragis lagi, dia melihat kehancuran, hilang kemanusiaan, bila ‘ teratai kuncup/ ,membalut tubuh tak bernyawa ‘( puisi” Tubuh Rebah”). Bagaimana pula peranan tentera yang diamanahkan untuk menjaga rakyat, bila mereka ‘ memainkan senapan/sambil tertawa-tawa/ lalu membidik / dan dor’. Yang dibunuh pula itu adalah orang awam.Doa dan harapanSuara penyair ini tetap lembut, walaupun menyampaikan hal yang sinis. Sekali lagi sebagai putra Aceh, nilai Islamis itu memang sarat dalam puisi beliau. Bagi manusia Islam, doa mempunyai kesan penting. Di sini melalui harapan dan doa, penyair penuh harap dengan mengungkapkan,‘ … biarkan kami tegak di sinimemaku tanah merah, tanah moyang kamilalu menggalinya agar tetap selamatbiarkan kami di siniberdoa bagi kelangsungan hidup kamimengharap ampunan dan taubatbiarkan kami di sinibersama anak dan istri…biarkan kami di sinimenunggu kezaliman berlalu…’(puisi “ Biarkan Kami”)Penyerahankah ini? Atau keinsafan oleh olah dan perlakuan masa lalu, sehingga penyair mengharap ampunan dan taubat! Namun tegasnya, penyair sendiri memberi jawaban dengan menjelaskan,kami bukan batu keramatkami bukan lumut laknatkami bukan bau busuk khianatkami bukan ranting rapuhyang lakat pada beringin angkuhkami bukan apa-apakarena itu biarkan kamimenghirup aroma tanahtanpa syak wasangkamenjadi tangkai sekaligus bungamemintal kasih sayang dan cintaInilah tanda kelembutan jiwa sang penyair yang menggenggam amanat kasih sayang. Hanya kasih dan cinta dapat membina persahabatan dan keakraban budi. Hilang kasih itulah yang mudah memunculkan angkara musibah. Di sinilah penyair terjebak dilema musibah, karena akhirnya‘ giliranku yang pilu/ ketika bunga dan lehermu ditembus peluru’ (puisi “Bunga dan Peluru” ) . Lebih mengharukan lagi, bila ungkapnya, ‘ kukirim padamu sekuntum/ tapi engkau entah di mana’ (puisi “ Bunga”). Romantisisme yang menjalar ke jiwanya cepat menjadikan beliau tersentuh, menyatu tetapi masih dapat menahan kemarahan sebaliknya, coba menyampaikan ingatakan kepada kita seperti ceritanya,“ …Yusuf, bocah 12 tahunmenyaksikan nyala api itudalam wajah keringdi pelupuk mata kecilnya berkelebattangan-tangan penuh apimemenggal bapaknya di tengah sawahdan api itu pulayang membakar harapan Siti Aminahdi pedalaman Pidie ‘ (puisi “ Nyala Aceh”)Membaca bait puisi ini kita dibawa ke alur peristiwa realiti-realisme yang diangkat dari data sejarah yang tidak dapat disembunyikan. Penyair Fikar W.Eda dapat kita golongkan sebagai pencatat sejarah dengan ungkapan lirik yang bersahaja tetapi tetap membawa gelora jiwa sehingga kita dengan senang penuh terharu menikmati buah fikir putera Aceh sejati. Semoga saja selepas perjanjian demi perjanjian yang telah disepakati akan membuahkan pula puisi yang lebih manusiawi tentang masa lalu dan masa depan umat bangsa kita tercinta.(Januari- 17 Februari 2003)______________________
1 lih.Rolf J.Kreber,edt.1995.2 A.Hasjmy mengutip kata pengantar salinan Hikayat Perang Sabil oleh Anzib.lih.A.Hasimy,1977:58
Bibliografi
A.Hasjmy,1977(a). Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Belanda . Jakarta: Bulan Bintang
Jones,Russell (peny) 1999.Hikayat Raja Pasai.K.Lumpur: Yayasan Karyawan
Kleber,R.J.,Figley,C.R dan Gersons,Bherthopld (peny),1995. Beyond Trauma Cultural And Societal Dynamics. New York:Plenum Press
Abdul Wachid BS, Fikar W Eda dan Lian Sahar (peny),1999. Aceh Mendesah dalam Nafasku. Banda Aceh : KaSUHA
Siti Zainon Ismail,2002. “Nyala Aceh, Kajian Kesan Psikologi dan Nilai Budaya, Pusisi-puisi Aceh, dalam suasana DOM dan pasca DOM”. Kertaskerja Persidangan Antarbangsa, Pengajian Melayu Indonesia, National
..............................

Prof Dr. Siti Zainon Ismail, salah seoranag sastrawan dan pelukis terpenting di Malaysia. Lahir di Gombak, Kuala Lumpur, 18 Desember 1949. Mendapat didikan seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (Sarjana Muda Seni Rupa, 1974) dan Universiti Kebangsaan Malaysia (Sarjana Sastera, 1979). Menulis banyak buku dan menggelar pameran lukis di banyak tempat, termasuk Indonesia.Menerima anugerah SEA Write Award diBangkok (1989) dan gelar Cut Nyak Fakinah dari Aceh, 1990. “Aceh adalah kampung halaman kedua saya,” kata Siti Zainon tentang Tanah Aceh yang telah dikunjunginya sampai ke pelosok. Saat ini mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia. Bersama intelektual Aceh Prof Dr Darwis A Soelaiman dkk, Siti Zainon Membentuk Lembaga Pusat Kajian Melayu-Aceh (Pusma).


Catatan Rencong

KATA RENDRA
Kumpulan puisi ini mencerminkan kehalusan budi. Penindasan dan ketidak-adilan yang terjadi di Aceh digambarkan dengan protes yang lahir dari kemurnian kalbu yang tanpa pamrih politik. Absurditas kekerasan ditonjolkan sebagai kebodohan manusia yang pongah dan fana.Seruannya untuk mempertahankan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan sangat menyentuh hati. Terutama karena kefasihan Fikar dalam memadatkan pengucapan dan disiplin selektifnya dalam penggambaran detil.Ketangkasannya dalam menciptakan rhima memang sangat khas menunjukkan tradisi lisan Takengon yang mengalir dengan deras dalam darahnya.Inilah kumpulan puisi seorang penyair romantis yang dilanda kepedihan dan keprihatinan, menyaksikan kampung halamannya berantakan, sebagai akibat praktek politik kekuasaan yang tanpa etika.

Depok, 4 September 2003

RENDRA: budayawan, dramawan dan penyair terpenting Indonesia. Dijuluki “Si Burung Merak,” Lahir di Solo, 7 November 1935. “Balada Cut Nyak Dhien” dan “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami,” adalah dua sajak yang ditulisnya khusus untuk Aceh. Sajak “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami” kemudian diaransir menjadi hymne Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh oleh komponis Muchtar Embut. Puisinya yang lain dipahatkan pada salah satu dinding gedung DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.

BIOGRAFI RINGKAS SITI ZAINON ISMAIL

KARYAWAN MALAYSIA

_________________________________________________________________
Siti Zainon Ismail
SITI ZAINON ISMAIL dilahirkan pada 18 Disember 1949 di Gombak, Selangor Darul Ehsan. Beliau memperoleh Ijazah Sarjana Muda Seni Rupa (B.F.A) dari Sekolah Tinggi Seni Rupa (SRI) pada tahun 1973 di Yogyakarta, Indonesia, Ijazah Sarjana Sastera (1980) dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Ijazah Doktor Falsafah dari Universiti Malaya (1992). Pada tahun 1980, beliau dilantik menjadi pensyarah di Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Selain itu, beliau pernah menjadi Fellow Penyelidik di Institut Alam dan Tamadun Melayu (1994-1996) dan Pengarah Kebudayaan UKM (1996-1999)  Siti Zainon merupakan Professor Madya di UKM (1995) dan dilantik sebagai Profesor 2000. Setelah bersara beliau dilantik sebagai Prof Tamu di ATMA  UKM (2007) dan pada tahun 2014-2016 diundang sebagai Profesor di Fakulti Kemanusian, seni dan Warian Univerisiti Malaysia Sabah. Meneruskan kuliah Faslasah Kebudayaan dan Kesenia, Estetika Seni, Retorik Penulisan, disamping terus aktif menggalakan kegiatan Seni bersama mahasiswa dan masyarakat di Sabah.

Dalam ujana Kesusasteraan Melayu tanah air, Siti Zainon dikenali sebagai penyair dan pelukis yang aktif dalam pengkajian dan penulisan ilmiah, cerpen, novel, puisi dan kritikan. Siti Zainon memiliki bakat besar dalam bidang lukisan dan penulisan karya kreatif.


TERBITAN 

  • Kajian Buku ilmiah

1.Getaran Jalur dan Warna (Fajar Bakti, 1985), 2. Rekabentuk Kraftangan Melayu Tradisi (DBP, 1986), 
3. Lambang Sari Gamelan Terengganu bersama-sama Harun Mat Piah (UKM, 1986), 4. Percikan Seni(DBP, 1989). 
Tekstil dan Tenunan Melayu (DBP, 1992), 
5.The MALAY Handicraft Design (DBP 1992), 
6. Busana Melayu Johor (YWJ-Fajar Bakti, 1997)
7. Kembara Seni Siti (Galeri Melora 1997)
8. Malay Woven Textile (Ters.Harry Aveling, DBP, 1997)
9. A Journey Into the World of Art. (Galeri Melora 2000)
10. .Zikir Pelangi - The Rainbow Biografi Seni (Galeri Melora, 2000)
11. Pakaian Cara Melayu (UKM, 2006,2007,2009)
12. Angin Si Pauh Janggi (RA  Fine Art, 2008)
13. Memasuki Taman Puisi (DBP 2010)
14. 100 Malay Proverb - 100 Pepatah Petitih Melayu (TIBM, 2010) >Terjemahan ke Bahasa Jepun (2013) Jerman  (2013)
15. Acheh Suara Hujung Tambak (DBP 2012)
16. Silang Seni Siti Zainon  Ismail oleh Sakinah Abu Bakar (DBP 2013)

  •  Buku Puisi

1.Nyanyian Malam (DBP, 1976/ Galeri Melora 2004)
2. Puisi Putih Putih Sang Kekasih (UKM 1984/2016)
3.Perkasihan Subuh (Bulan Mintang Jakarta 1986/ Cindai 
Cinta 1987) 
4. Daun-dauan Muda (Media Intelek 1986)
5. Aquarium Kota (Cindai Cinta 1988)
6. Bunga-Bunga Bulan (Creatif Interprise 1990)
7. Kau Nyalakan Lilin (Grupemusi UKM)
8. The Moon in a Candle (1996), 
9. Cempaka: An Antolgy ( Usman Awang, Siti Zainon Ismail, Kemala, A Ghafar Ibrahim ,trans Harrry Avelinhg (DBP 1992)
10.Pumplet Penyair BUNDA (Unit Kebudaya UKM, 1996)
11.Taman-Taman Kejadian 
(Galeri Melora1996) 
12. Witir Merapi (Galeri Melora 2004)
13 Geulumbang Rayuek Nita SMS Tsunami (Galeri Melora 2005)
14. Kasih Bonda Kampung Paya Kami (DBP 2010, 2015)
15. Bonda's Love (terjemahan Ingeris) dan Russia , terj Victor Pogadeuv.
16.Bait Senandung Malam - The Ryhtym of Night Song (ITBN 2011) dan terjemahan ke Bahasa Inggeris
17. Bijak Si Katak Bijak (Sajak Kanan-kanan -HSPM 2012 (ITBM 2012)
18. Angsa Istana Si Jambul Desa (ITBM, 2014)
19. Surat dari Awan (ITBM 2015)
20. Gemersik Tiga (Bersama Usman Awang, Lim Swee Tin . ITBM 2015)
21. Sahabat Bulu Cantik (ITBM 2016)
22. Anak Kambing Sungai Air Tawar (ITBM 2016)
23. Zaman Cicak dan Mengkarung (ITBM 2016)
24. Cik Bunga Rantau Abang (ITBM 2016)

  • Buku Cerpen

1. Seri Padma (DBP 1984)
2. Attar di Lembah Mawar (1998),
3. Dongeng Si Siti Kecil ( Teks Publishing, 1988)
4. Bunga Putih Putih (DBP 1992,2015)
5. Kampung Paya Kami (Galeri Melora1998)
6. Nyanyian Laut (Galei Melori 2000)
7. Jurai Palma (DBP 2004)
8. Rindu Pala Muda ( DBP 2006)
9.Piazza di Spagna (Galeri Melora 2010)
10. Rumah Waris Uwan (ITBM 2013)

  • Novel

1.  Rembang Flamboyang (Fajar Bakti  Pulau Renek Ungu(1995),
2. Pulau Renik Ungu (DBP 1995,2015)
3. Delima Ranting Senjia (Utusan Publishin 2006)

Sepanjang penglibatan dalam dunia penulisan dan aktiviti kesusasteraan dan budaya, beliau telah dianugerahkan pelbagai hadiah. Antaranya ialah Hadiah Lukisan Batik (1967/68), Hadiah Esei (1988), Penghargaan Seni oleh Seoul Country Club, Korea (1986), 


      Anugerah dan Gelaran 

*  Budayawan Gombak - PAKSI 2012
*  Anugerah Budayanita , Majlis Pembangunan Ekonomi Selangor 2007
* Prof Luar Biasa Universitas Jabal Ghafur , 1996
*Istiqlal Honorary Felow of Poetry, Jakarta 1995
*Anugerah Tan Sri Fatimah-Avon 1993
*Pingat Jasa Kebaktian Selanog (PJK) 1993
*Anugerah Gelar Chut Nyak Fakinah, Lembaga Adat Istiadat dan Kebudayaan Acheh, LAKA 1999
* Anugerah S.E.A. Write Award.
Bangok 1989
*Pingat Jubli Perak Sultan Selangor PJK1986. 
* Piagam "Seoul World Poetry" Korea Selatan 1986
*India Council of Culture Relations  Fellowhip of Valmiki Poetry Festival New Delhi dan Bhopal, India 1985.


Di samping itu, beliau menjadi Ahli Lembaga, Balai Seni Lukis Negara (1991-93), Ahli Majlis Sastera Nusantara (1997), AJK Anugerah Seni Negara (1996-99), Ahli Lembaga Muzium Negeri Selangor (1995) dan Ahli Majlis Kebudayaan Selangor (1995), Pengersi penyildik Busana dan Tekstil Muzium Negara>Muzium Tekstil , (2002-2010), Pakar ujuk Busana dan Tekstil Yayasan Warisn Johor (2012-2015) Ahli Lembaga Perbadanan Adat Istiadat Melayu Selangor , PADAT (2010-2013), Seniman- Sasteraan Ahli Program Pembinaan Bakat Tunas Remaja Malasyai (2012), Ppenasihat Ahli Lembaga Yayasan Usman Awan, 2013 -, Ahli Majlis Bahasa an Sastera Sabah (2015-2017)

Sebagai penyair, beliau begitu dikenali di rantau Nusantara. Siti Zainon sering diundang untuk membacakan puisinya di dalam dan juga di luar negara seperti di Bali, Indonesia (1985), Brunei (1986), Thailand (1986), Jerman (1986), Korea Selantan (1986) dan juga London (1986,1992). Puisi-puisi beliau juga telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia seperti Inggeris, Bulgaria, Hindi, Urdu, Jepun, Thai, Perancis, Rusia, dan Korea.

SUMBANGAN DATA KAJIAN SITI ZAINON ISMAIL DALAM KAJIAN SARJANA LAIN




Tema Sastera Klasik Melayu: Peribahasa dan Bidalan dalam Karya Cetakan Pelukis Malaysia


Jurnal Elektronik Jabatan Bahasa & Kebudayaan Melayu Jilid 3 (2011) 41-53


MAZLAN HJ. A. KARIM Institut Pendidikan Guru, Malaysia 
A. RAHMAN HJ. MOHAMED Universiti Sains Malaysia, Malaysia

 Abstrak Sejak Kongres Kebudayaan Kebangsaan 1971 dan Seminar Akar-Akar Kesenian Peribumi 1979, pelukis-pelukis tanah air mula mengambil tema-tema kebudayaan tempatan untuk dijadikan idea karya seni mereka. Karya seni visual bukan sekadar medium untuk memperlihatkan kemahi-ran tetapi juga berfungsi sebagai ungkapan perasaan peribadi pengkarya (personal functions). Peribahasa dan bidalan adalah antara warisan tradi-sional Melayu, mendapat perhatian beberapa pelukis seni cetak Malaysia untuk diangkat sebagai tema karya seni mereka. Objektif penulisan ini ialah untuk mengupas dan memahami secara ilmiah ‘content’ yang meru-juk kepada mesej yang diterjemahkan menerusi karya seni visual oleh pengkarya seperti A. Rahman Mohamad dan Rosiah Mohd. Noor untuk tatapan penghayat. Metodologi yang digunakan untuk proses penelitian karya adalah menggabungkan dua pendekatan iaitu pendekatan kritikan seni Feldman dan pendekatan Neoformalism untuk penulis memahami makna (content) yang cuba hendak disampaikan oleh pelukis seni cetak tanah air. Dapatan kajian mendapati pelukis bukan sekadar merakam penghargaan terhadap keindahan sastera Melayu semata-mata tetapi juga mengandungi mesej berkaitan kehidupan dan budaya masyarakat yang mereka wakili. Kata kunci sastera klasik Melayu; seni visual; subjek; karya cetakan Pendahuluan Karya seni visual bukan sekadar medium untuk pengkarya memperlihatkan kemahiran melukis tetapi juga berfungsi sebagai ungkapan perasaan peribadi pengkarya (personal functions) dan medium komunikasi antara pengkarya dan penghayat. Sepertimana yang dijelaskan Rosalind Ragans (2005: 6), ‚You share your ideas and feelings by using words. You can also communicate through the arts. Art is a language that artists use to express ideas and feelings that everyday words cannot express.‛ Karya seni visual, merujuk Rosalind Ragans (2005: 6), didefinisikan sebagai ‚the visual expression of an idea or exJurnal Elektronik Jabatan Bahasa & Kebudayaan Melayu MAKALAH Jilid 3 (2011) 41-53 e-UTAMA, Jilid 3 (2011) 42 perience created with skill. Visual art is more than paintings hanging on a wall. Visual art includes drawing, printmaking, sculpture, architecture, photography, film making, crafts, graphic arts, industrial and commercial design, video, and computer arts.‛ Seni cetak merupakan salah satu disiplin dalam bidang seni halus yang mempunyai keunikan yang tersendiri berbanding disiplin seni halus yang lain iaitu seni catan, seni arca dan lukisan. Rosalind Ragans (2005: 48) menekankan bahawa aspek utama dalam penghasilan karya cetakan ialah berkaitan dengan penggunaan blok dan mengkategorikan karya cetakan atau ‘a print’ yang juga dikenali sebagai ‘original work of art’ atau ‘cetakan asli’. Ini kerana cetakan asli dihasilkan menerusi tiga langkah asas iaitu melibatkan pembentukan blok, meletakkan warna pada blok dan memindahkan imej daripada blok ke atas permukaan lain: ‚Printmaking is a process in which an artist repeatedly transfers an original image from one prepared surface to another. Paper is often the surface to which the printed image is transferred. The impression created on a surface by the printing plate is called a print.‛ Patrick Frank (2009: 130) juga menyatakan bahawa istilah cetakan adalah menjelaskan tentang kepelbagaian teknik yang dikembangkan untuk membuat beberapa salinan dari satu gambar. Setiap satu salinan adalah ‘original’: ‚One of the best definitions of an original print comes from artist June Wayne: ‚It is a work of art, usually on paper, which has sibling...They all look alike, they were all made at the same time from the same matrix, the same creative impulse, and they are all originals. The fact that there are many of them is irrelevant.‛ Oleh itu, penghasilan karya seni cetak secara tradisi lebih menekankan proses mendapatkan imej menerusi blok yang diukirkan imej di atasnya. Imej yang dicetak ke atas permukaan kertas dikenali sebagai hasil cetak atau impression. Berdasarkan beberapa definisi tadi, jelaslah bahawa teraan yang merujuk kepada hasil cetak merujuk kepada kesan-kesan yang diperolehi menerusi blok atau matrik yang dicetak ke atas permukaan kertas. Kesan-kesan tersebut menurut Ponirin Amin (1995: tanpa muka surat) merupakan bahasa asas kepada seni cetak iaitu merujuk kepada kesan-kesan jalinan (marks), garisan, bentuk, rupabentuk, jali-nan, ton dan sebagainya. Ia boleh didapati dari pelbagai permukaan alam benda dan buatan manusia. Maka adalah wajar kesan-kesan tersebut diketahui dahulu sebagai suatu kaedah meningkatkan perbendaharaan tampak. Kewajaran saranan Ponirin Amin itu mempunyai signifikan tersendiri sepertimana penegasan Peter Green (1964: 8) iaitu proses mengenal sifat permukaan pada bahan alam semulajadi akan meningkat daya persepsi pelukis terhadap bahan itu sendiri ‚...make us more aware of nature and character of each particular surface of form. The capacity of such prints to develop perception through such visual evidence is important.‛ Malah dari sudut estetika, sepertimana menurut Bernard S. Myers (1958: 189) bahawa keindahan karya cetakan atau ‘the beauty of prints’ itu terpapar menerusi kualiti-kualiti garisan dan jalinan di atas bahantara kertas tadi merupakan ciri unik yang menjadi daya tarikan utama berbanding disiplin seni visual lain.

 Tujuan Perbincangan Penulisan ini membincangkan bagaimana karya cetakan digunakan sebagai medium ungkapan perasaan peribadi pengkarya (personal functions) berkaitan tema kebudayaan setempat. Peribahasa dan bidalan adalah antara warisan tradisional Melayu, Mazlan Karim 43 mendapat perhatian beberapa pelukis seni cetak Malaysia untuk diangkat sebagai tema karya seni mereka. Objektif penulisan ini ialah untuk mengupas dan memahami secara ilmiah berkaitan ‘content’ yang merujuk kepada mesej yang diterjemahkan menerusi karya cetakan oleh pengkarya yang dipilih iaitu A. Rahman Mohamad dan Rosiah Mohd. Noor. Karya mereka dipilih menerusi satu pameran anjuran bersama Balai Seni Lukis Negara dan Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, bertajuk ‘Tampannya Budi’ pada tahun 2009. Penulis memfokuskan perbincangan terhadap persoalan Prof. Madya Salmah Abu Mansor (2009: 6) iaitu sama ada pelukis boleh membaca, mentafsir dan mengupas sesebuah pantun, gurindam, perumpamaan atau syair dan menterjemahkannya ke atas sekeping kanvas atau kertas dalam bentuk imej visual dengan menggunakan pelbagai medium seperti cat minyak atau cat air. Latar Belakang Kajian Sastera Klasik Melayu diperjelaskan oleh Prof. Datuk Dr. Shamsul Amri Baharuddin (2009: 8) merujuk kepada fakta bahawa tersulam di dalamnya ‘pandangan dunia’ (worldview) manusia Melayu, kepintaran dan kebijaksanaannya, kekuatan dan ketampanan budinya. Beliau membahagikan sastera klasik Melayu kepada dua iaitu prosa dan puisi. Kedua-duanya menggunakan bahasa yang indah-indah, halus dan tertib. Apabila dibaca ianya menjadi merdu dan berirama, malah lebih lunak kalau didendangkan. Menurut beliau lagi, prosa dan puisi ini awalnya berbentuk lisan. Kemudiannya dirakam dalam bentuk tulisan Jawi dan tersebar ke seluruh alam Melayu. Kedua prosa dan puisi mempunyai kualiti bahasa yang tinggi dan indah, sama ada berbentuk lisan dan berikutnya dalam bentuk tulisan. Keindahan ini senantiasa dikekalkan dan menjadikannya suatu warisan budaya berintelek tinggi yang sangat dihargai dan dimegahkan oleh masyarakat Melayu. 

Perkaitan rapat sastera klasik Melayu dengan seni lukis moden Malaysia, merujuk penjelasan Siti Zainon Ismail (1989: 11), telah bermula sekitar 1970-an. Menurutnya, karya-karya seni lukis moden Malaysia ketika itu mula memperlihatkan ciri kecintaan terhadap nilai peribumi. Ini adalah kesan daripada Seminar Akar-Akar Kesenian Peribumi dan Perkembangan Kini, Disember 1979, anjuran Institut Teknologi Mara (kini UiTM). Kebanyakan pelukis lulusan institusi tempatan mula menyedari hakikat nilai dan identiti tempatan. Keghairahan mencari nilai dan identiti inilah mula membibitkan kesedaran terhadap beberapa unsur budaya – seni, masyarakat dan kehidupan. Beberapa orang pelukis mula menimba idea daripada unsur budaya persekitarannya seperti unsur alam, motif seni/sastera (tradisi/moden), sudut pandangan Islam (konsep Islam, abjad/kaligrafi) dan sebagainya. Di kalangan pelukis seni moden Malaysia sejak 1960-an, sama ada yang menjadikan seni cetak sebagai medium utama mahupun sampingan, merupakan penyajak yang berbakat besar selain kebolehan mereka dalam seni visual. Misalnya Abdul Latif Mohidin yang menghasilkan karya catan dan cetakan yang diilhamkan menerusi cetusan rasa dalam puisinya.

 Berdasarkan tulisan Siti Zainon Ismail (1989: 11), beliau menjelaskan bahawa Abdul Latif Mohidin yang sering digelar ‘nature painter’ dengan maksud yang sama sebagai ‘nature poet’ menghasilkan karya menerusi siri e-UTAMA, Jilid 3 (2011) 44 ‘Pago-Pago’ dan ‘Imago’ adalah pengalaman puisi dalam sajaknya yang berkisar tentang alam kehidupan. Dalam konteks perkembangan seni lukis moden Malaysia, buat julung kalinya telah diadakan satu pameran berinspirasikan Sastera Melayu Tradisional seperti pantun, syair gurindam, seloka, puisi dan sebagainya diterjemahkan secara visual melalui karya seni. 

Menurut Prof. Tan Sri Dato’ Dr. Sharifah Hapsah Syed Hassan Shahabudin (2009: 5), Naib Canselor Universiti Kebangsaan Malaysia, dalam katakata aluannya melihat acara sebegini telah mengangkat martabat Sastera Melayu Tradisional dengan hembusan nafas baru melalui seni visual yang memberikan gambaran kepada identiti kebangsaan. Pameran yang diadakan di Balai Seni Lukis Negara, Kuala Lumpur, bertemakan ‘The Beauty of The Malay Intellect’ atau ‘Tampannya Budi’ adalah anjuran bersama Balai Seni Lukis Negara dan Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, pada tahun 2009. Intipati pameran ‘The Beauty of The Malay Intellect’ atau ‘Tampannya Budi’ ini, menurut Prof. Madya Salmah Abu Mansor (2009: 6), menjelaskan bahawa pameran ini berakar umbi dalam satu projek penyelidikan yang besar berjudul ‘Budaya Visual Melayu’ yang telah dilaksanakan oleh ATMA semenjak 2006. Menurutnya lagi, setiap karya seni visual juga merupakan ‘teks’ yang boleh dibaca, ditafsir dan dikupas oleh sesiapa saja, pakar dan bukan pakar, dengan lensa masing-masing. Walau bagaimanapun, beliau turut melontarkan persoalan iaitu adakah para pelukis boleh membaca, mentafsir dan mengupas sesebuah pantun, gurindam, perumpamaan atau syair dan menterjemahkannya ke atas sekeping kanvas atau kertas dalam bentuk imej visual dengan menggunakan pelbagai medium seperti cat minyak atau cat air. Bentuk dan stail karya seni visual di awal perkembangan seni lukis moden Malaysia iaitu pada tahun 1930-an adalah bersifat universal dan kebaratan. Muliyadi Mahamood (2001: 58) menggambarkan sejak 1970-an dan 1980-an, para pelukis tempatan mula merujuk kepada kesenian tradisi dalam memenuhi hasrat pencarian identiti. Seni tradisi seperti batik, ukiran kayu, songket, hikayat, sastera dan seni bina menjadi rujukan pelukis sebagai ‘subjek’ mahupun motif dalam berkarya. Maksud istilah ‘subjek’ yang digunakan dalam penulisan dijelaskan di bahagian metodologi kerana perlu dikaitkan dengan dua lagi elemen penting dalam pembentukan karya seni visual. 

Rujukan dan kesedaran terhadap kekayaan seni tradisi semakin memuncak selepas Seminar Akar-Akar Kesenian Peribumi yang diadakan pada tahun 1979 di Kajian Seni Lukis dan Seni Reka, Institut Teknologi MARA, Shah Alam. Kertas kerja yang dibentangkan oleh Syed Ahmad Jamal (1973: 313) di Kongres Kebudayaan Kebangsaan pada 16-20 Ogos 1971 di Universiti Malaya, Kuala Lumpur telah menyarankan tentang kepentingan mewujudkan satu konsep ‘Seni Lukis Malaysia’. Pada pandangan Syed Ahmad Jamal, konsep ‘Seni Lukis Malaysia’ bukan sekadar menggambarkan pokok kelapa, sawah padi, tepi pantai, perahu, pondok atap tetapi lebih daripada itu. Beliau menekankan tentang sifat-sifat seni lukis Malaysia kini.

 Menurut Siti Zainon Ismail (1989: 65-66), perkembangan awal seni lukis tanah air yang diwakili oleh Yong Mun Seng dan Abdullah Arif (1930) menerusi cat air masih kurang intinya dengan masalah budaya tempatan. Sekadar menyatakan idea luaran yang diolah berdasarkan beberapa tema atau subjek yang menampakkan pemandangan atau peristiwa di tanah air. Tanpa rujukan khas yang dilakukan oleh penghasil seni, sejarah seni budaya Tradisi Agung semakin mengecil tanpa menam- Mazlan Karim 45 pakkan penggarapan idea tempatan itu menyebabkan seni lukis Malaysia seperti tidak mempunyai identiti. Beliau menganggap ‘Kongres Kebudayaan Kebangsaan’ di awal tujuh puluhan dan ‘Akar-Akar Kesenian Peribumi dan Perkembangan Kini’ (1979) merupakan peristiwa yang mencabar dalam perkembangan seni rupa tanah air. Kedua-dua peristiwa itu merupakan satu detik penting kepada seniman atau pelukis terhadap kesedaran tentang pembentukan seni lukis: lukisan dan cat tanah air. Bebe-rapa pelukis muda di awal 1970-an seperti Ruzaika Omar Basaree dan Lee Kian Seng mengambil imej Tradisi Agung melalui pemilihan subjek seni ukir – bangau, perahu, atau permainan tradisi – tetapi menciptanya kembali dengan nada sezaman, men-jauhi penampilan tradisi seperti yang dihasilkan oleh Nik Zainal Abidin mahupun Yusof Abdullah, A. Khalid Yusof dan A. Ghaffar Ibrahim yang menampilkan Tradisi Agung seni khat bebas. Manakala Sulaiman Esa pula peka dengan media tenunan dan cat dalam mencari erti semangat seni Tradisi Agung melalui siri ‘Ke Arah Tauhid’nya. Muliyadi Mahamood (2001: 58) juga menganggap Kongres Kebudayaan Kebangsaan 1971 merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan seni lukis moden Malaysia. Kongres tersebut telah membuka arah seni yang baru dengan dasar-dasarnya yang menjurus kepada pembentukan identiti nasional iaitu ‚tiga konsep penting dibina sebagai asas Kebudayaan Kebangsaan. Pertama, Kebudayaan Kebangsaan Malaysia haruslah berasaskan kebudayaan asli rakyat rantau ini. Kedua, unsur-unsur kebudayaan lain yang sesuai dan wajar boleh diterima menjadi unsur-unsur kebudayaan kebangsaan, dan ketiga, Islam menjadi unsur yang penting dalam pembentukan kebudayaan kebangsaan itu‛ (Muliyadi Mahamood, 2001: 58)

******Siti Zainon Ismail (1999). Acuan Kuih Tembaga (Kuih Loyang dan Buhulu). Dlm. Glosari: Kesenian Budaya Benda. Kuala Lumpur: Jabatan Persuratan Melayu UKM.
Siti Zainon Ismail (2009). Seni Rupa Dunia Melayu. (Layari pada 31 Julai 2009). Diperolehi daripada blog Siti Zainon Ismail. http://senirupasiti.blogspot.com/2009/06/seni-rupamelayu-kesenian-rakyat.html