Catatan Rencong
Masa Lalu dan PeristiwaKontemporer Aceh
Oleh Prof. Dr. Siti Zainon Ismail
ACEH yang disebut sejak masa lalu sebagai ‘Serambi Mekah’ telah sekian lama mewarnai budaya ilmu dan sejarah sastera yang panjang. Sebut saja Hamzah Fansuri , Sheik Nuruddin ar-Raniri tidak siapa dapat memadam namanya begitu itu. Amat disayangi sekali jika penulis modern hari ini tidak mengenal karya mereka. Begitu juga wilayah Aceh yang luas terutama sejak abad ke 17, bila Iskandar Muda dapat mengawasi kuasa Portugis di sepanjang Selat Melaka hingga jajahan takluknya meluasi jauh ke Semenanjung Tanah Melayu.
sebelum muncul Aceh Darussalam sudah disebut kewujudan Perlak dan Pasai sebagai wilayah pertama disinggahi bahtera Islam. Teks Sejarah Melayu memerikan peristiwa Merah Silu merebus cacing gelang-gelang hingga menjadi emas dan buihnya berganti perak. Kekayaannya itu telah dicemburi adiknya Merah Caga lalu mengungsi ke Rimba Jerun (dalam Hikayat Pasai disebut Rima Jerana).Tempat asal dua bersaudara ini dikatakan berada di negeri Biruan (Bireun sekarang) (lih. Russel Jones,edt.1999:9). Manakala tempat penemuan cacing gelang-gelang itu di sebut sebagai Padang Gelang-gelang (Shellabear,edt,1977:40). Begitu juga proses pengislaman di wilayah asal kerajaan Aceh itu telah disebut beberapa nama seperti Lamuri, Fansuri dan Haru yang telah ditadangi nakhoda Shikh Ismail sehingga Islam bertapak dengan jayanya. Namun takdir juga sejak dulu negeri kaya emas dan sumber alam lain ini terus dicemburui oleh siapa saja yang ‘melintas’ wilayah ini.KIRANYA fakta sejarah ini dapat kita hubungkan dengan ‘ kejayaan dan keagungan Aceh’ masa lalu yang harus dijadikan iktibar, kenapa sejarah dan budaya yang semakin sepi itu dilestarikan kembali. Di sinilah titik tolak bagi meninjau makna dan ghairah puisi Fikar W. Eda dalam Kumpulan Puisi Recong ini.Sejarah budaya : masa lalu dan peristiwa kontemporer AcehSejak masih berdaun muda, seorang pemuda remaja merenung keindahan Laut Gayo nun jauh di gunung pedalaman Aceh. Dia ber”Angan”, ‘ bulan jatuh di pusaran Laut Tawar ‘ namun yang ‘ ku kejar tak dapat ‘ . Ini di catat kala dia masih menyelusuri bumi Takengon. Pemuda berusia 21 tahun di manapun memang penuh angan dan cita-cita. Tetapi inilah “Rinduku” yang penuh bagai ‘ jerit ilalang’/ ‘ jerit bocah tengah malam’. Ada keruh puisi mula muncul di benak rindu itu. Mungkinkah detik pertemuan awal di Jabal Gafur dalam peristiwa pertemuan penyair Nusantara 1986 telah mengembangkan rindu anak muda ini, seolah ingin menerus dan menyampaikan rindu sebagai ‘rintihan dunia’Demikian anak jati Aceh tidak akan bisa terus bermain impi dengan angan-angan . Gejolak sejarah bumi kelahiran yang robek, dilanda musibah oleh pejruangan bangsa yang panjang sejak melawan Portugis dan Belanda berentetan dengan isu negara yang tidak selesai, telah membangunkan sejumlah tenaga protes, marah dan sendu. Inilah gerak minda dan gelora jiwa sehingga puisi melimpah. Fikar W.Eda yang menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh tidak terkecuali dengan limpahan puisi. Sepanjang peristiwa DOM yang mengikat mulut dan pasca DOM, semua mula ‘ bebas’ dan berani melontar ide dalam nada yang berbagai. Dan puisi adalah salah satu lontaran ide oleh respons suasana yang bergejolak itu. Sebagai contoh, walaupun perang melawan Belanda sudah lama berakhir, namun kesan kemarahan itu masih berbekas. Ungkapan Fikar lagi, Belanda atau Jakarta tidak ada bedanya, karena kini mereka ‘ melontarkan kemarahan hingga menyamakannya “Seperti Belanda ”…’ mereka pun menghunus sangkur/ dengan senapan siap tempur/rumah-rumah digempur/masjid, meunasah/dibuat hancur ‘Siapa dan di manakah Jakarta itu? Jelas penyair sendiri, ‘ …melebih Belanda / mereka perkosa istri-istri kami/mereka tebas leher putra putri kami/ mereka bunuh harapan dan cita-cita kami’. Puisi dicipta pada tahun 1999 , selepas pasca DOM. Nadanya langsung tanpa bersembunyi lagi. Apakah ini puncak kekecewaan yang lama penuh harap menanggung angan keamanan sejak usia masih balita sudah didongengkan dengan cerita Perang Sabil? Bagaimanakah menahan derita ,duka sehingga membuahkan dendam kemarahan kalau di hadapan mata semuanya adalah api? Maka tidak heran lagi, di mata dan sukma penyair ini, yang muncul ialah,“ …jari-jari penari seudati memercikkan apidada penari menyalakan apilangkah penari menjadi apisyair nyanyi adalah apiapi menjalar ke mana-manahalaman rumahtaman kota…’sehingga seterusnya inilah rakaman peristiwa sejarah semasa itu, bila masjid, pasar, kebun sawit, kopi, cengkeh, ombak, laut menjadi api, pesantren sekolah , kampus, hotel menjadi api.Pada hal harapan tetap menjadi tanda tanya, siapakah yang akan “menyalakan lampu Aceh/dengan warna kuning keemasan.” Inilah simbol harapan. Penyair tahu dan siapapun yang mempelajari sejarah Aceh, tahu zaman keagungan Aceh masa lalu telah dan bagai diarak mendung. Awan kelabu murung. Umum mengetahui lewat kitab-kitab sejarah, di mana letak ‘ lampu dengan warna kuning keemasan’ itu menyala! Di mana pula loceng cakradonya digantungkan dan krueung yang mengalir di bawah ‘dalam’ istana yang tembus ke darul isyki sebagai simbol masa lalu. Tetapi di mana itu semua?Lebih menyentuh hati kita ialah tentang derita panjang yang lama itu telah membuah dendam. Sebelum peristiwa DOM lagi, penyair telah melalui detik duka lara dan kemarahan itu memuncak dengan citra konkrit dalam puisinya “ Rajah”, dengan rasa penuh gerak yang dimanterakan berbunyi, ‘ eeeeeeeeeeeeeeeee’ (17 huruf e, silakan membunyikannya = eeeee ) diikuti dengan gamam ‘ mmmmmmmmmmmmmmmmmm’ (18 huruf = emmmemm…) itulah manik-manik (diri) yang dibakar menjadi bara nadikerana yang dicari , yang didatangi adalah rohmu, kualiri darahmu ,kuairi matamu, ku langkahi kaki mu …dan sejak lama penyair sudah meratapi dan me-‘luruhkan hatinya’ pada puisi. Bukankah inilah trauma sosio-budaya?Trauma sosio-budayaTrauma wujud dan berkembang tergantung kepada kekuatan dan kelemahan individu menganggapi suasana dan lingkungan tidak tenteram. Kesan perang dengan keadaan kehilangan, kekerasan terjadi dialami dan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik hingga membuahkan kesan negatif. Trauma has become a very popular in psychology, psychiatry and the social sciences, and its popularity is still growing rapidly’ (Rolf J.Kreber, edt.1995:11).1 Herman Oppenheim pula telah mengenalkan konsep traumatic neuriosis dan ini dilanjutkan oleh Pierre Janet, Josef Breuer and Sigmund Frued yang menguji kesan traumatic nature seperti gangguan hysteria (ibid). Dalam negara yang dihadapi dengan krisis dan konflik, titik awal pernderitaan bukan saja di sudut fisikal, kehancuran infra-sturuktur tetapi juga makna sengsara dari sudut mental dan spiritual. Pihak yang berkuasa berusaha menakluki ‘musuh’ sebagai pemuncul angkara. Rakyat pula memberontak, memprotes karena ketidak-adilan pemerintah dan bertindak untuk mendapat hak keadilan. Di kalangan penguasa , pemberontak harus dihapuskan. Dalam hal ini seniman tidak juga berdiam diri dan Fikar W.Eda yang turut trauma tentu ingin mengubat derita sukma itu sehingga puisi turut menjadi alat penyembuh – art as theraphy. Malah lebih menyatu, penyair dan karyanya turut menjadi sumber semangat , inspirasi untuk mempertahankan tanah air. Di Nanggroe Aceh Darussalam hal ini telah dibuktikan dengan puisi ulung karya Shikh Pante Kulu melalui Hikayat Perang Sabil . Perhatikan ungkapan penting dalam teks awal ini,Demikian hikayat merangsang perangMembangkitkan semangat pendengar beritaDi mana jumpa Belanda dicencangHilang melayang cinta dunia2Dalam hal semasa Aceh setelah DOM dicabut penyair lebih lantang bersuara. Antaranya Fikar sendiri, suaranya tetap lembut namun memberi arah,“…saudara-saudaramulai hari ini kita harus kerja kerasbahu membahu menyusun barisantak perlu risauapabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecahini biasa dalam perhelatan …’(dalam Nyala Aceh)Penyair ini dengan bersahaja terus berseru, mengingatkan hingga dapat memberi semangat pembangunan jiwa. Dalam judul “ Mari”. Dalam suasana desing peluru, penyair memberi arah dalam simbolis puisi,mariku lukis jemarimu di pasir inilantas tetesi darah kitabuat bekal anak-anak esokmari satukan rohdi bawah purnama inipertanda kitaberangkat dari satu titikmariapit semangat(di luar desing peluru)Puisi ini dicatat bagai mengingati semangat perjuangan ‘melawan’ peristiwa gangguan kehidupan rakyat Aceh, sepanjang tahun 1986 hingga 2001. Nadanya begitu bersahaja namun semangat api tetap bernyala. Hampir seluruh koleksi puisi dalam Kumpulan Puisi Rencong ini merekam unsur dan citra panas seperti, ‘ api’ (memercikkan api, menyalakan api, bara api, memerah api, menjadi api,nyala api, Aceh menyala, membakar, memanggang, kobaran api), ‘darah’ (tetesi darah, penuh darah, penuh luka,). Kumpulan puisi juga mewakili karya-karya penuh semangat oleh ledakan ‘ perang’ . Kita temui ungkapan dengan citra dan metafora yang kerap mengaitkan dengan kematian, kehancuran, kesesiaan dan kesebalan. Sebagai wartawan yang tinggal di Jakarta, Fikar tidak dapat menutup mata begitu saja, dia adalah anak watan yang merindui tanah kelahiran, kebeningan embun di tajuk renggali di Gayo, doa ine (ibu) dengan cerita rakyat “ batu belah” hingga ucapnya ‘ betapa sukmaku tak pernah lekang/dari wajahmu’ (puisi “ Sebuku”). Penyair anak jati Gayo, ini tahu ‘asalku dari hulu/menitis dari kesucian akar kayu’. Tetapi selama suasana tidak tertenteram, yang dilihat dan didengarnya selepas itu ialah ‘ pembantaian’ umat satu bangsa bermaruah yang telah lama merdeka. Harta bumi kelahiran yang kaya dengan ‘ gas alam, khazanah bumi,’telah dirampas oleh ‘ penimbun harta/yang tak lagi menyisakan zakat/dari ladang-ladang milik Tuhan ‘ (puisi “ Asalku dari Hulu”). Namun ’ selama pemerentahan Order Baru, ‘ mulut dikatup/kemana suara/tangan digari/kemana raba/hati dikunci / kemana rasa/ pada hal/ telah lama merdeka (puisi “ Kemana”).Bagaimana dapat menolak koleksi puisi ini daripada suasan perang? Baik tema sebagai struktur asas karya susastera mahupun semangat dalaman kerana yang dihantar kepada kita penuh dengan suasana ‘perang’ itu sendiri. Petikan ayat dengan citra berikut secara langsung dapat dirujuk sebagai mewakili bahan sejarah,‘…dari Jakartakalian hunjamkan mata rencong itutepat di jantung kami ‘ (puisi “ Rencong”,1998)atau,‘ menghunus sangkur’, ‘senapan siap tempur’ (puisi “ Seperti Belanda ” ); ‘lehermu ditembus peluru’ (puisi “ Bunga dan Peluru”) , ‘serombongan serdadu’, memainkan senapan’, ‘ membidik / dan dor ‘ (puisi “ Tubuh Rebah”), ‘ peluru-peluru bodoh yang ditembakkan ‘( puisi “ Aku Tak Bisa Berfikir” ), ‘engkau hunus mata pedang’ (puisi “ Lalu Kita”) , ‘desing peluru’ (puisi “ Cahaya Suci Matahari “), ‘deru peluru’ (puisi “Kabut Tipis Kaca Jendela”);Maka akibat dari trauma perang itu ialah dengan wujudnya ‘ para yatim dan piatu’ , ‘ penuh luka/penuh darah ‘ , ‘ jadi angkuh’ , sejarah remuk’ ( puisi “ Jerit Bukit”), ‘wajah-wajah gelisah’ (puisi “ Dari Balik Kaca Sebuah Menara”); ‘ candapun hilang makna’ (puisi “ Kabut Tipis kaca Jendela”) . Lebih bingung pula ada yang tidak mengerti, kenapa bisa terjadi, ‘ seorang perempuan/ asyik menulis kezaliman/ yang tidak pernah ia pahami’ (puisi “ Akulah Syair Itu”). Keseluruhan kesan negatif ke atas anak bangsa yang dihina oleh suasana perang itu, dilihat penyair sebagai, melemah jiwa,’ kemana rasa, kemana raba, kemana daya’ walaupun negeri ‘telah merdeka’ (puisi “ Kemana”) . lebih tragis lagi, dia melihat kehancuran, hilang kemanusiaan, bila ‘ teratai kuncup/ ,membalut tubuh tak bernyawa ‘( puisi” Tubuh Rebah”). Bagaimana pula peranan tentera yang diamanahkan untuk menjaga rakyat, bila mereka ‘ memainkan senapan/sambil tertawa-tawa/ lalu membidik / dan dor’. Yang dibunuh pula itu adalah orang awam.Doa dan harapanSuara penyair ini tetap lembut, walaupun menyampaikan hal yang sinis. Sekali lagi sebagai putra Aceh, nilai Islamis itu memang sarat dalam puisi beliau. Bagi manusia Islam, doa mempunyai kesan penting. Di sini melalui harapan dan doa, penyair penuh harap dengan mengungkapkan,‘ … biarkan kami tegak di sinimemaku tanah merah, tanah moyang kamilalu menggalinya agar tetap selamatbiarkan kami di siniberdoa bagi kelangsungan hidup kamimengharap ampunan dan taubatbiarkan kami di sinibersama anak dan istri…biarkan kami di sinimenunggu kezaliman berlalu…’(puisi “ Biarkan Kami”)Penyerahankah ini? Atau keinsafan oleh olah dan perlakuan masa lalu, sehingga penyair mengharap ampunan dan taubat! Namun tegasnya, penyair sendiri memberi jawaban dengan menjelaskan,kami bukan batu keramatkami bukan lumut laknatkami bukan bau busuk khianatkami bukan ranting rapuhyang lakat pada beringin angkuhkami bukan apa-apakarena itu biarkan kamimenghirup aroma tanahtanpa syak wasangkamenjadi tangkai sekaligus bungamemintal kasih sayang dan cintaInilah tanda kelembutan jiwa sang penyair yang menggenggam amanat kasih sayang. Hanya kasih dan cinta dapat membina persahabatan dan keakraban budi. Hilang kasih itulah yang mudah memunculkan angkara musibah. Di sinilah penyair terjebak dilema musibah, karena akhirnya‘ giliranku yang pilu/ ketika bunga dan lehermu ditembus peluru’ (puisi “Bunga dan Peluru” ) . Lebih mengharukan lagi, bila ungkapnya, ‘ kukirim padamu sekuntum/ tapi engkau entah di mana’ (puisi “ Bunga”). Romantisisme yang menjalar ke jiwanya cepat menjadikan beliau tersentuh, menyatu tetapi masih dapat menahan kemarahan sebaliknya, coba menyampaikan ingatakan kepada kita seperti ceritanya,“ …Yusuf, bocah 12 tahunmenyaksikan nyala api itudalam wajah keringdi pelupuk mata kecilnya berkelebattangan-tangan penuh apimemenggal bapaknya di tengah sawahdan api itu pulayang membakar harapan Siti Aminahdi pedalaman Pidie ‘ (puisi “ Nyala Aceh”)Membaca bait puisi ini kita dibawa ke alur peristiwa realiti-realisme yang diangkat dari data sejarah yang tidak dapat disembunyikan. Penyair Fikar W.Eda dapat kita golongkan sebagai pencatat sejarah dengan ungkapan lirik yang bersahaja tetapi tetap membawa gelora jiwa sehingga kita dengan senang penuh terharu menikmati buah fikir putera Aceh sejati. Semoga saja selepas perjanjian demi perjanjian yang telah disepakati akan membuahkan pula puisi yang lebih manusiawi tentang masa lalu dan masa depan umat bangsa kita tercinta.(Januari- 17 Februari 2003)______________________
Oleh Prof. Dr. Siti Zainon Ismail
ACEH yang disebut sejak masa lalu sebagai ‘Serambi Mekah’ telah sekian lama mewarnai budaya ilmu dan sejarah sastera yang panjang. Sebut saja Hamzah Fansuri , Sheik Nuruddin ar-Raniri tidak siapa dapat memadam namanya begitu itu. Amat disayangi sekali jika penulis modern hari ini tidak mengenal karya mereka. Begitu juga wilayah Aceh yang luas terutama sejak abad ke 17, bila Iskandar Muda dapat mengawasi kuasa Portugis di sepanjang Selat Melaka hingga jajahan takluknya meluasi jauh ke Semenanjung Tanah Melayu.
sebelum muncul Aceh Darussalam sudah disebut kewujudan Perlak dan Pasai sebagai wilayah pertama disinggahi bahtera Islam. Teks Sejarah Melayu memerikan peristiwa Merah Silu merebus cacing gelang-gelang hingga menjadi emas dan buihnya berganti perak. Kekayaannya itu telah dicemburi adiknya Merah Caga lalu mengungsi ke Rimba Jerun (dalam Hikayat Pasai disebut Rima Jerana).Tempat asal dua bersaudara ini dikatakan berada di negeri Biruan (Bireun sekarang) (lih. Russel Jones,edt.1999:9). Manakala tempat penemuan cacing gelang-gelang itu di sebut sebagai Padang Gelang-gelang (Shellabear,edt,1977:40). Begitu juga proses pengislaman di wilayah asal kerajaan Aceh itu telah disebut beberapa nama seperti Lamuri, Fansuri dan Haru yang telah ditadangi nakhoda Shikh Ismail sehingga Islam bertapak dengan jayanya. Namun takdir juga sejak dulu negeri kaya emas dan sumber alam lain ini terus dicemburui oleh siapa saja yang ‘melintas’ wilayah ini.KIRANYA fakta sejarah ini dapat kita hubungkan dengan ‘ kejayaan dan keagungan Aceh’ masa lalu yang harus dijadikan iktibar, kenapa sejarah dan budaya yang semakin sepi itu dilestarikan kembali. Di sinilah titik tolak bagi meninjau makna dan ghairah puisi Fikar W. Eda dalam Kumpulan Puisi Recong ini.Sejarah budaya : masa lalu dan peristiwa kontemporer AcehSejak masih berdaun muda, seorang pemuda remaja merenung keindahan Laut Gayo nun jauh di gunung pedalaman Aceh. Dia ber”Angan”, ‘ bulan jatuh di pusaran Laut Tawar ‘ namun yang ‘ ku kejar tak dapat ‘ . Ini di catat kala dia masih menyelusuri bumi Takengon. Pemuda berusia 21 tahun di manapun memang penuh angan dan cita-cita. Tetapi inilah “Rinduku” yang penuh bagai ‘ jerit ilalang’/ ‘ jerit bocah tengah malam’. Ada keruh puisi mula muncul di benak rindu itu. Mungkinkah detik pertemuan awal di Jabal Gafur dalam peristiwa pertemuan penyair Nusantara 1986 telah mengembangkan rindu anak muda ini, seolah ingin menerus dan menyampaikan rindu sebagai ‘rintihan dunia’Demikian anak jati Aceh tidak akan bisa terus bermain impi dengan angan-angan . Gejolak sejarah bumi kelahiran yang robek, dilanda musibah oleh pejruangan bangsa yang panjang sejak melawan Portugis dan Belanda berentetan dengan isu negara yang tidak selesai, telah membangunkan sejumlah tenaga protes, marah dan sendu. Inilah gerak minda dan gelora jiwa sehingga puisi melimpah. Fikar W.Eda yang menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh tidak terkecuali dengan limpahan puisi. Sepanjang peristiwa DOM yang mengikat mulut dan pasca DOM, semua mula ‘ bebas’ dan berani melontar ide dalam nada yang berbagai. Dan puisi adalah salah satu lontaran ide oleh respons suasana yang bergejolak itu. Sebagai contoh, walaupun perang melawan Belanda sudah lama berakhir, namun kesan kemarahan itu masih berbekas. Ungkapan Fikar lagi, Belanda atau Jakarta tidak ada bedanya, karena kini mereka ‘ melontarkan kemarahan hingga menyamakannya “Seperti Belanda ”…’ mereka pun menghunus sangkur/ dengan senapan siap tempur/rumah-rumah digempur/masjid, meunasah/dibuat hancur ‘Siapa dan di manakah Jakarta itu? Jelas penyair sendiri, ‘ …melebih Belanda / mereka perkosa istri-istri kami/mereka tebas leher putra putri kami/ mereka bunuh harapan dan cita-cita kami’. Puisi dicipta pada tahun 1999 , selepas pasca DOM. Nadanya langsung tanpa bersembunyi lagi. Apakah ini puncak kekecewaan yang lama penuh harap menanggung angan keamanan sejak usia masih balita sudah didongengkan dengan cerita Perang Sabil? Bagaimanakah menahan derita ,duka sehingga membuahkan dendam kemarahan kalau di hadapan mata semuanya adalah api? Maka tidak heran lagi, di mata dan sukma penyair ini, yang muncul ialah,“ …jari-jari penari seudati memercikkan apidada penari menyalakan apilangkah penari menjadi apisyair nyanyi adalah apiapi menjalar ke mana-manahalaman rumahtaman kota…’sehingga seterusnya inilah rakaman peristiwa sejarah semasa itu, bila masjid, pasar, kebun sawit, kopi, cengkeh, ombak, laut menjadi api, pesantren sekolah , kampus, hotel menjadi api.Pada hal harapan tetap menjadi tanda tanya, siapakah yang akan “menyalakan lampu Aceh/dengan warna kuning keemasan.” Inilah simbol harapan. Penyair tahu dan siapapun yang mempelajari sejarah Aceh, tahu zaman keagungan Aceh masa lalu telah dan bagai diarak mendung. Awan kelabu murung. Umum mengetahui lewat kitab-kitab sejarah, di mana letak ‘ lampu dengan warna kuning keemasan’ itu menyala! Di mana pula loceng cakradonya digantungkan dan krueung yang mengalir di bawah ‘dalam’ istana yang tembus ke darul isyki sebagai simbol masa lalu. Tetapi di mana itu semua?Lebih menyentuh hati kita ialah tentang derita panjang yang lama itu telah membuah dendam. Sebelum peristiwa DOM lagi, penyair telah melalui detik duka lara dan kemarahan itu memuncak dengan citra konkrit dalam puisinya “ Rajah”, dengan rasa penuh gerak yang dimanterakan berbunyi, ‘ eeeeeeeeeeeeeeeee’ (17 huruf e, silakan membunyikannya = eeeee ) diikuti dengan gamam ‘ mmmmmmmmmmmmmmmmmm’ (18 huruf = emmmemm…) itulah manik-manik (diri) yang dibakar menjadi bara nadikerana yang dicari , yang didatangi adalah rohmu, kualiri darahmu ,kuairi matamu, ku langkahi kaki mu …dan sejak lama penyair sudah meratapi dan me-‘luruhkan hatinya’ pada puisi. Bukankah inilah trauma sosio-budaya?Trauma sosio-budayaTrauma wujud dan berkembang tergantung kepada kekuatan dan kelemahan individu menganggapi suasana dan lingkungan tidak tenteram. Kesan perang dengan keadaan kehilangan, kekerasan terjadi dialami dan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik hingga membuahkan kesan negatif. Trauma has become a very popular in psychology, psychiatry and the social sciences, and its popularity is still growing rapidly’ (Rolf J.Kreber, edt.1995:11).1 Herman Oppenheim pula telah mengenalkan konsep traumatic neuriosis dan ini dilanjutkan oleh Pierre Janet, Josef Breuer and Sigmund Frued yang menguji kesan traumatic nature seperti gangguan hysteria (ibid). Dalam negara yang dihadapi dengan krisis dan konflik, titik awal pernderitaan bukan saja di sudut fisikal, kehancuran infra-sturuktur tetapi juga makna sengsara dari sudut mental dan spiritual. Pihak yang berkuasa berusaha menakluki ‘musuh’ sebagai pemuncul angkara. Rakyat pula memberontak, memprotes karena ketidak-adilan pemerintah dan bertindak untuk mendapat hak keadilan. Di kalangan penguasa , pemberontak harus dihapuskan. Dalam hal ini seniman tidak juga berdiam diri dan Fikar W.Eda yang turut trauma tentu ingin mengubat derita sukma itu sehingga puisi turut menjadi alat penyembuh – art as theraphy. Malah lebih menyatu, penyair dan karyanya turut menjadi sumber semangat , inspirasi untuk mempertahankan tanah air. Di Nanggroe Aceh Darussalam hal ini telah dibuktikan dengan puisi ulung karya Shikh Pante Kulu melalui Hikayat Perang Sabil . Perhatikan ungkapan penting dalam teks awal ini,Demikian hikayat merangsang perangMembangkitkan semangat pendengar beritaDi mana jumpa Belanda dicencangHilang melayang cinta dunia2Dalam hal semasa Aceh setelah DOM dicabut penyair lebih lantang bersuara. Antaranya Fikar sendiri, suaranya tetap lembut namun memberi arah,“…saudara-saudaramulai hari ini kita harus kerja kerasbahu membahu menyusun barisantak perlu risauapabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecahini biasa dalam perhelatan …’(dalam Nyala Aceh)Penyair ini dengan bersahaja terus berseru, mengingatkan hingga dapat memberi semangat pembangunan jiwa. Dalam judul “ Mari”. Dalam suasana desing peluru, penyair memberi arah dalam simbolis puisi,mariku lukis jemarimu di pasir inilantas tetesi darah kitabuat bekal anak-anak esokmari satukan rohdi bawah purnama inipertanda kitaberangkat dari satu titikmariapit semangat(di luar desing peluru)Puisi ini dicatat bagai mengingati semangat perjuangan ‘melawan’ peristiwa gangguan kehidupan rakyat Aceh, sepanjang tahun 1986 hingga 2001. Nadanya begitu bersahaja namun semangat api tetap bernyala. Hampir seluruh koleksi puisi dalam Kumpulan Puisi Rencong ini merekam unsur dan citra panas seperti, ‘ api’ (memercikkan api, menyalakan api, bara api, memerah api, menjadi api,nyala api, Aceh menyala, membakar, memanggang, kobaran api), ‘darah’ (tetesi darah, penuh darah, penuh luka,). Kumpulan puisi juga mewakili karya-karya penuh semangat oleh ledakan ‘ perang’ . Kita temui ungkapan dengan citra dan metafora yang kerap mengaitkan dengan kematian, kehancuran, kesesiaan dan kesebalan. Sebagai wartawan yang tinggal di Jakarta, Fikar tidak dapat menutup mata begitu saja, dia adalah anak watan yang merindui tanah kelahiran, kebeningan embun di tajuk renggali di Gayo, doa ine (ibu) dengan cerita rakyat “ batu belah” hingga ucapnya ‘ betapa sukmaku tak pernah lekang/dari wajahmu’ (puisi “ Sebuku”). Penyair anak jati Gayo, ini tahu ‘asalku dari hulu/menitis dari kesucian akar kayu’. Tetapi selama suasana tidak tertenteram, yang dilihat dan didengarnya selepas itu ialah ‘ pembantaian’ umat satu bangsa bermaruah yang telah lama merdeka. Harta bumi kelahiran yang kaya dengan ‘ gas alam, khazanah bumi,’telah dirampas oleh ‘ penimbun harta/yang tak lagi menyisakan zakat/dari ladang-ladang milik Tuhan ‘ (puisi “ Asalku dari Hulu”). Namun ’ selama pemerentahan Order Baru, ‘ mulut dikatup/kemana suara/tangan digari/kemana raba/hati dikunci / kemana rasa/ pada hal/ telah lama merdeka (puisi “ Kemana”).Bagaimana dapat menolak koleksi puisi ini daripada suasan perang? Baik tema sebagai struktur asas karya susastera mahupun semangat dalaman kerana yang dihantar kepada kita penuh dengan suasana ‘perang’ itu sendiri. Petikan ayat dengan citra berikut secara langsung dapat dirujuk sebagai mewakili bahan sejarah,‘…dari Jakartakalian hunjamkan mata rencong itutepat di jantung kami ‘ (puisi “ Rencong”,1998)atau,‘ menghunus sangkur’, ‘senapan siap tempur’ (puisi “ Seperti Belanda ” ); ‘lehermu ditembus peluru’ (puisi “ Bunga dan Peluru”) , ‘serombongan serdadu’, memainkan senapan’, ‘ membidik / dan dor ‘ (puisi “ Tubuh Rebah”), ‘ peluru-peluru bodoh yang ditembakkan ‘( puisi “ Aku Tak Bisa Berfikir” ), ‘engkau hunus mata pedang’ (puisi “ Lalu Kita”) , ‘desing peluru’ (puisi “ Cahaya Suci Matahari “), ‘deru peluru’ (puisi “Kabut Tipis Kaca Jendela”);Maka akibat dari trauma perang itu ialah dengan wujudnya ‘ para yatim dan piatu’ , ‘ penuh luka/penuh darah ‘ , ‘ jadi angkuh’ , sejarah remuk’ ( puisi “ Jerit Bukit”), ‘wajah-wajah gelisah’ (puisi “ Dari Balik Kaca Sebuah Menara”); ‘ candapun hilang makna’ (puisi “ Kabut Tipis kaca Jendela”) . Lebih bingung pula ada yang tidak mengerti, kenapa bisa terjadi, ‘ seorang perempuan/ asyik menulis kezaliman/ yang tidak pernah ia pahami’ (puisi “ Akulah Syair Itu”). Keseluruhan kesan negatif ke atas anak bangsa yang dihina oleh suasana perang itu, dilihat penyair sebagai, melemah jiwa,’ kemana rasa, kemana raba, kemana daya’ walaupun negeri ‘telah merdeka’ (puisi “ Kemana”) . lebih tragis lagi, dia melihat kehancuran, hilang kemanusiaan, bila ‘ teratai kuncup/ ,membalut tubuh tak bernyawa ‘( puisi” Tubuh Rebah”). Bagaimana pula peranan tentera yang diamanahkan untuk menjaga rakyat, bila mereka ‘ memainkan senapan/sambil tertawa-tawa/ lalu membidik / dan dor’. Yang dibunuh pula itu adalah orang awam.Doa dan harapanSuara penyair ini tetap lembut, walaupun menyampaikan hal yang sinis. Sekali lagi sebagai putra Aceh, nilai Islamis itu memang sarat dalam puisi beliau. Bagi manusia Islam, doa mempunyai kesan penting. Di sini melalui harapan dan doa, penyair penuh harap dengan mengungkapkan,‘ … biarkan kami tegak di sinimemaku tanah merah, tanah moyang kamilalu menggalinya agar tetap selamatbiarkan kami di siniberdoa bagi kelangsungan hidup kamimengharap ampunan dan taubatbiarkan kami di sinibersama anak dan istri…biarkan kami di sinimenunggu kezaliman berlalu…’(puisi “ Biarkan Kami”)Penyerahankah ini? Atau keinsafan oleh olah dan perlakuan masa lalu, sehingga penyair mengharap ampunan dan taubat! Namun tegasnya, penyair sendiri memberi jawaban dengan menjelaskan,kami bukan batu keramatkami bukan lumut laknatkami bukan bau busuk khianatkami bukan ranting rapuhyang lakat pada beringin angkuhkami bukan apa-apakarena itu biarkan kamimenghirup aroma tanahtanpa syak wasangkamenjadi tangkai sekaligus bungamemintal kasih sayang dan cintaInilah tanda kelembutan jiwa sang penyair yang menggenggam amanat kasih sayang. Hanya kasih dan cinta dapat membina persahabatan dan keakraban budi. Hilang kasih itulah yang mudah memunculkan angkara musibah. Di sinilah penyair terjebak dilema musibah, karena akhirnya‘ giliranku yang pilu/ ketika bunga dan lehermu ditembus peluru’ (puisi “Bunga dan Peluru” ) . Lebih mengharukan lagi, bila ungkapnya, ‘ kukirim padamu sekuntum/ tapi engkau entah di mana’ (puisi “ Bunga”). Romantisisme yang menjalar ke jiwanya cepat menjadikan beliau tersentuh, menyatu tetapi masih dapat menahan kemarahan sebaliknya, coba menyampaikan ingatakan kepada kita seperti ceritanya,“ …Yusuf, bocah 12 tahunmenyaksikan nyala api itudalam wajah keringdi pelupuk mata kecilnya berkelebattangan-tangan penuh apimemenggal bapaknya di tengah sawahdan api itu pulayang membakar harapan Siti Aminahdi pedalaman Pidie ‘ (puisi “ Nyala Aceh”)Membaca bait puisi ini kita dibawa ke alur peristiwa realiti-realisme yang diangkat dari data sejarah yang tidak dapat disembunyikan. Penyair Fikar W.Eda dapat kita golongkan sebagai pencatat sejarah dengan ungkapan lirik yang bersahaja tetapi tetap membawa gelora jiwa sehingga kita dengan senang penuh terharu menikmati buah fikir putera Aceh sejati. Semoga saja selepas perjanjian demi perjanjian yang telah disepakati akan membuahkan pula puisi yang lebih manusiawi tentang masa lalu dan masa depan umat bangsa kita tercinta.(Januari- 17 Februari 2003)______________________
1 lih.Rolf J.Kreber,edt.1995.2 A.Hasjmy mengutip kata pengantar salinan Hikayat Perang Sabil oleh Anzib.lih.A.Hasimy,1977:58
Bibliografi
A.Hasjmy,1977(a). Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Belanda . Jakarta: Bulan Bintang
Jones,Russell (peny) 1999.Hikayat Raja Pasai.K.Lumpur: Yayasan Karyawan
Kleber,R.J.,Figley,C.R dan Gersons,Bherthopld (peny),1995. Beyond Trauma Cultural And Societal Dynamics. New York:Plenum Press
Abdul Wachid BS, Fikar W Eda dan Lian Sahar (peny),1999. Aceh Mendesah dalam Nafasku. Banda Aceh : KaSUHA
Siti Zainon Ismail,2002. “Nyala Aceh, Kajian Kesan Psikologi dan Nilai Budaya, Pusisi-puisi Aceh, dalam suasana DOM dan pasca DOM”. Kertaskerja Persidangan Antarbangsa, Pengajian Melayu Indonesia, National
..............................
Prof Dr. Siti Zainon Ismail, salah seoranag sastrawan dan pelukis terpenting di Malaysia. Lahir di Gombak, Kuala Lumpur, 18 Desember 1949. Mendapat didikan seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (Sarjana Muda Seni Rupa, 1974) dan Universiti Kebangsaan Malaysia (Sarjana Sastera, 1979). Menulis banyak buku dan menggelar pameran lukis di banyak tempat, termasuk Indonesia.Menerima anugerah SEA Write Award diBangkok (1989) dan gelar Cut Nyak Fakinah dari Aceh, 1990. “Aceh adalah kampung halaman kedua saya,” kata Siti Zainon tentang Tanah Aceh yang telah dikunjunginya sampai ke pelosok. Saat ini mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia. Bersama intelektual Aceh Prof Dr Darwis A Soelaiman dkk, Siti Zainon Membentuk Lembaga Pusat Kajian Melayu-Aceh (Pusma).
Bibliografi
A.Hasjmy,1977(a). Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Belanda . Jakarta: Bulan Bintang
Jones,Russell (peny) 1999.Hikayat Raja Pasai.K.Lumpur: Yayasan Karyawan
Kleber,R.J.,Figley,C.R dan Gersons,Bherthopld (peny),1995. Beyond Trauma Cultural And Societal Dynamics. New York:Plenum Press
Abdul Wachid BS, Fikar W Eda dan Lian Sahar (peny),1999. Aceh Mendesah dalam Nafasku. Banda Aceh : KaSUHA
Siti Zainon Ismail,2002. “Nyala Aceh, Kajian Kesan Psikologi dan Nilai Budaya, Pusisi-puisi Aceh, dalam suasana DOM dan pasca DOM”. Kertaskerja Persidangan Antarbangsa, Pengajian Melayu Indonesia, National
..............................
Prof Dr. Siti Zainon Ismail, salah seoranag sastrawan dan pelukis terpenting di Malaysia. Lahir di Gombak, Kuala Lumpur, 18 Desember 1949. Mendapat didikan seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (Sarjana Muda Seni Rupa, 1974) dan Universiti Kebangsaan Malaysia (Sarjana Sastera, 1979). Menulis banyak buku dan menggelar pameran lukis di banyak tempat, termasuk Indonesia.Menerima anugerah SEA Write Award diBangkok (1989) dan gelar Cut Nyak Fakinah dari Aceh, 1990. “Aceh adalah kampung halaman kedua saya,” kata Siti Zainon tentang Tanah Aceh yang telah dikunjunginya sampai ke pelosok. Saat ini mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia. Bersama intelektual Aceh Prof Dr Darwis A Soelaiman dkk, Siti Zainon Membentuk Lembaga Pusat Kajian Melayu-Aceh (Pusma).
Catatan Rencong
KATA RENDRA
Kumpulan puisi ini mencerminkan kehalusan budi. Penindasan dan ketidak-adilan yang terjadi di Aceh digambarkan dengan protes yang lahir dari kemurnian kalbu yang tanpa pamrih politik. Absurditas kekerasan ditonjolkan sebagai kebodohan manusia yang pongah dan fana.Seruannya untuk mempertahankan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan sangat menyentuh hati. Terutama karena kefasihan Fikar dalam memadatkan pengucapan dan disiplin selektifnya dalam penggambaran detil.Ketangkasannya dalam menciptakan rhima memang sangat khas menunjukkan tradisi lisan Takengon yang mengalir dengan deras dalam darahnya.Inilah kumpulan puisi seorang penyair romantis yang dilanda kepedihan dan keprihatinan, menyaksikan kampung halamannya berantakan, sebagai akibat praktek politik kekuasaan yang tanpa etika.
Depok, 4 September 2003
RENDRA: budayawan, dramawan dan penyair terpenting Indonesia. Dijuluki “Si Burung Merak,” Lahir di Solo, 7 November 1935. “Balada Cut Nyak Dhien” dan “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami,” adalah dua sajak yang ditulisnya khusus untuk Aceh. Sajak “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami” kemudian diaransir menjadi hymne Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh oleh komponis Muchtar Embut. Puisinya yang lain dipahatkan pada salah satu dinding gedung DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.
Kumpulan puisi ini mencerminkan kehalusan budi. Penindasan dan ketidak-adilan yang terjadi di Aceh digambarkan dengan protes yang lahir dari kemurnian kalbu yang tanpa pamrih politik. Absurditas kekerasan ditonjolkan sebagai kebodohan manusia yang pongah dan fana.Seruannya untuk mempertahankan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan sangat menyentuh hati. Terutama karena kefasihan Fikar dalam memadatkan pengucapan dan disiplin selektifnya dalam penggambaran detil.Ketangkasannya dalam menciptakan rhima memang sangat khas menunjukkan tradisi lisan Takengon yang mengalir dengan deras dalam darahnya.Inilah kumpulan puisi seorang penyair romantis yang dilanda kepedihan dan keprihatinan, menyaksikan kampung halamannya berantakan, sebagai akibat praktek politik kekuasaan yang tanpa etika.
Depok, 4 September 2003
RENDRA: budayawan, dramawan dan penyair terpenting Indonesia. Dijuluki “Si Burung Merak,” Lahir di Solo, 7 November 1935. “Balada Cut Nyak Dhien” dan “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami,” adalah dua sajak yang ditulisnya khusus untuk Aceh. Sajak “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami” kemudian diaransir menjadi hymne Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh oleh komponis Muchtar Embut. Puisinya yang lain dipahatkan pada salah satu dinding gedung DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.
Langganan: Entri (Atom)
FIKAR W. EDA

SALEUM
salam mulia
salam sepuluh jari di atas kepala
sambutlah salam kami
salam damai dengan bismillah
FIKAR W.EDA:
Lahir di Aceh 1966. Alumni Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah, Banda Aceh. Menggeluti sastra dan teater. Tampil dalam berbagai kegiatan baca puisi di sejumlah kota di Indonesia dan Malaysia, seperti Jakarta, Jogjakarta, Solo, Surabaya, Bandung, Kuala Lumpur dalam Pengucapan Puisi Dunia Ke-9 2002, Banda Aceh dan lain-lain. Menghadiri Forum Puisi Indonesia ’87 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Refleksi Peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka di Solo, Pertemuan Penyair Sumatera di Lampung, Medan, Batam dan sebagainya. Bersama grup musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, menggelar acara “Tour Salam Damai” di sejumlah kota terpenting Indonesia dalam rangka Kampanye Hak Asasi Manusia Aceh. Menyusun antologi sastra “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” bersama Lian Sahar dan Abdul Wachid BS (Kasuha, 1999), dan buku “Aceh Menggugat” (Pustaka Sinar Harapan, 1999) bersama S Sastya Dharma. Menulis buku “FORBES dan Jejak Lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh” (Forbes, 2008), “SABANG, Menyusur Jejak Pelabuhan Bebas” (BPKS, 2008) bersama Reza Idria.
Kumpulan puisinya “RENCONG” (2003 dan 2005) ini diluncurkan di Universitas Indonesia (UI Depok), 17 Oktober 2003. Buku itu ‘dibedah’ secara khusus oleh dua sastrawan Malaysia, Prof Siti Zainon Ismail dan DR Ahmad Kamal Abdullah (Kemala), DR Tommy Christomi (UI) serta sejumlah essei yang dipublikasikan di berbagai surat kabar. Sejak 1989, bekerja sebagai jurnalis pada surat kabar Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh.
Puisi-puisinya juga terhimpun dalam “Antologi Forum Puisi Indonesia” (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), “Antologi Sastra Aceh Seulawah” (1995), “Dari Bumi Lada” (Dewan Kesenian Lampung, 1996), “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” (Kasuha,1999), Antologi Puisi Indonesia Jilid I (KSI, 1997), “Maha Duka Aceh (PDS HB Jassin, 2005), “Syair Tsunami” (PN Balai Pustaka, 2005), “Lagu Kelu” (Asa-JapanNet, 2005), “Ziarah Ombak” (Institute for Culture and Sociaty, 2005) dan lain-lain.
salam sepuluh jari di atas kepala
sambutlah salam kami
salam damai dengan bismillah
FIKAR W.EDA:
Lahir di Aceh 1966. Alumni Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah, Banda Aceh. Menggeluti sastra dan teater. Tampil dalam berbagai kegiatan baca puisi di sejumlah kota di Indonesia dan Malaysia, seperti Jakarta, Jogjakarta, Solo, Surabaya, Bandung, Kuala Lumpur dalam Pengucapan Puisi Dunia Ke-9 2002, Banda Aceh dan lain-lain. Menghadiri Forum Puisi Indonesia ’87 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Refleksi Peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka di Solo, Pertemuan Penyair Sumatera di Lampung, Medan, Batam dan sebagainya. Bersama grup musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, menggelar acara “Tour Salam Damai” di sejumlah kota terpenting Indonesia dalam rangka Kampanye Hak Asasi Manusia Aceh. Menyusun antologi sastra “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” bersama Lian Sahar dan Abdul Wachid BS (Kasuha, 1999), dan buku “Aceh Menggugat” (Pustaka Sinar Harapan, 1999) bersama S Sastya Dharma. Menulis buku “FORBES dan Jejak Lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh” (Forbes, 2008), “SABANG, Menyusur Jejak Pelabuhan Bebas” (BPKS, 2008) bersama Reza Idria.
Kumpulan puisinya “RENCONG” (2003 dan 2005) ini diluncurkan di Universitas Indonesia (UI Depok), 17 Oktober 2003. Buku itu ‘dibedah’ secara khusus oleh dua sastrawan Malaysia, Prof Siti Zainon Ismail dan DR Ahmad Kamal Abdullah (Kemala), DR Tommy Christomi (UI) serta sejumlah essei yang dipublikasikan di berbagai surat kabar. Sejak 1989, bekerja sebagai jurnalis pada surat kabar Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh.
Puisi-puisinya juga terhimpun dalam “Antologi Forum Puisi Indonesia” (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), “Antologi Sastra Aceh Seulawah” (1995), “Dari Bumi Lada” (Dewan Kesenian Lampung, 1996), “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” (Kasuha,1999), Antologi Puisi Indonesia Jilid I (KSI, 1997), “Maha Duka Aceh (PDS HB Jassin, 2005), “Syair Tsunami” (PN Balai Pustaka, 2005), “Lagu Kelu” (Asa-JapanNet, 2005), “Ziarah Ombak” (Institute for Culture and Sociaty, 2005) dan lain-lain.